Tuesday, December 23, 2008

STROKE HEMORAGIK dan STROKE NON-HEMORAGIK

STROKE HEMORAGIK dan STROKE NON-HEMORAGIK
Oleh:Firman Galuh Arisandy
ABSTRAK
Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. oleh karena itu perlu adanya pemerataan-pemerataan pembangunan di segala bidang, termasuk diantaranya di bidang kesehatan. Indonesia sehat tahun 2010 ,merupakan gambaran keadaan m Berdasarkan etiologinya stroke diklasifikasikan menjadi dua yaitu Stroke Haemoragik dan Stroke Non Haemoragik (Sidharta, 2000).Stroke hemoragik yaitu suatu kerusakan pembuluh darah otak, sehingga menyebabkan perdarahan pada area tersebut. Hal ini menyebabkan gangguan fungsi saraf (Haryono, 2002). Stroke Non Haemoragik yaitu gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh tersumbatnya pembuluh darah otak sehingga distribusi oksigen dan nutrisi ke area yang mendapat suplai terganggu (Osamulia, 1996).
Stroke Non Haemoragik secara patogenesis disebabkan oleh: (1) karena trombosis di arteri karotis interna secara langsung masuk ke dalam arteri serebri media atau anterior (trombotik stroke), (2) karena emboli yang berasal dari jantung (emboli stroke), (3) karena hipoksia yang timbul karena hipotensi dan perfusi yang kurang (Osamulia, 1996).
Adapun faktor-faktor resiko yang menjadikan seseorang menjadi mudah terserang stroke, yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwat keluarga, riwayat TIA atau stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosisturia. Sedangkan faktor resiko yang dapat diubah : hipertensi, diabetes melitus, merokok, penyalahgunaan alkohol dan obat, kontrasepsi oral, hemotokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis, hiperurismia dan dislipidemia (Mansjor, 2000).














A. LATAR BELAKANG MASALAH
Fisioterapi sebagai salah satu tenaga kesehatan berperan dalam memelihara, meningkatkan dan memperbaiki kemampuan gerak dan fungsi. Beberapa kasus yang mengalami gangguan gerak dan fungsi ini diantaranya adalah stroke.
Stroke merupakan satu masalah kesehatan yang besar dalam kehidupan modern saat ini. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat. Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Stroke dapat menyerang setiap usia, namun yang sering terjadi pada usia di atas 40 tahun. Angka kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, makin tinggi usia seseorang, makin tinggi kemungkinan terkena serangan stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Di Indonesia, belum ada data epidemologis stroke yang lengkap, tetapi proporsi penderita stroke dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Hal ini terlihat dari laporan survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI di berbagai rumah sakit di 27 provinsi di Indonesia. Hasil survei itu menunjukkan terjadinya peningkatan antara 1984 sampai 1986, dari 0,72 per 100 penderita pada1984 menjadi 0,89 per 100 penderita pada 1986. Di RSU Banyumas, pada 1997 pasien stroke yang rawat inap sebanyak 255 orang, pada 1998 sebnyak 298 orang, pada 1999 sebanyak 393 orang, dan pada 2000 sebanyak 459 orang (Hariyono, 2006).
Stroke atau cerebrovascular accident, merupakan penyebab invaliditas yang paling sering pada golongan umur diatas 45 tahun Di negara industri stroke merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan keganasan (Lumbantombing, 1984).
Stroke adalah serangan di otak yang timbulnya mendadak akibat tersumbat atau pecahnya pembuluh darah otak sehingga menyebabkan sel-sel otak tertentu kekurangan darah, oksigen atau zat-zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel tersebut dalam waktu yang sangat singkat (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Berdasarkan etiologinya stroke dibagi menjadi dua, yaitu : (1) Stroke Non Hemoragik adalah gangguan peredaran darah pada otak yang dapat berupa penyumbatan pembuluh darah arteri, sehingga menimbulkan infark/ iskemik. Umumnya terjadi pada saat penderita istirahat. Tidak terjadi perdarahan dan kesadaran umumnya baik. (2) Stroke Hemoragik yaitu pecahnya dinding pembuluh darah, sehingga terjadi perdarahan di otak. Umumnya terjadi pada saat pasien melakukan aktivitas. Terjadi perdarahan dan penurunan kesadaran bersifat nyata (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Dilihat dari aspek fisioterapi, gangguan yang timbul pada penderita stroke stadium akut menimbulkan beberapa tingkat gangguan, yaitu “impairment ” yang berupa flacciditas dan hilangnya sensibilitas separo tubuh. Adanya “functional limititation” yaitu seperti menurunnya kemampuan untuk menggerakan anggota gerak atas tubuh misalnya tangan dan tungkai untuk aktifitas fungsional seperti aktifitas untuk makan, minum, menyisir rambut, menggosok gigi, mengambil sesuatu, dan aktifitas tungkai misalnya untuk jongkok, berdiri, berjalan, menendang. Dan pada tingkat “disability” yaitu ketidakmampuan dalam melakukan aktifitas yang bersifat sosial misalnya pergi beribadah, kerja bakti, rapat desa, yang sampai pada tingkat kecacatan. Pada penderita stroke ini akan mengalami gangguan dan keterbatasan dalam hal aktivitas sehari-hari (AKS), aktifitas perawatan diri (APD), dan kemampuan transfer dan ambulasi.
Pendekatan fisioterapi yang dapat diberikan pada penderita stroke stadium akut salah satunya adalah pemberian terapi latihan secara bertahap dan disesuaikan dengan kemampuan pasien. Sedangkan tehnik-tehnik latihan yang dapat diberikan pada penderita stroke stadium akut antar lain adalah : (1) Breathing exercise pada pasien tidur terlentang yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi pada sistem pernafasan. (2) Positioning untuk mencegah timbulnya spastisitas dan pola sinergis. (3) Mobilisasi dini dengan latihan pasif dan aktif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya ganguan pada mobilitas persendian yang diakibatkan oleh kontraktur dan perlengketan jaringan dan mempercepat kemampuan gerak dan fungsi yang dapat mengakibatkan peningkatan kemampuan fungsional pasca stroke stadium akut.


B. RUMUSAN MASALAH
Hal yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
Apakah stroke hemoragik dan stroke non- hemoragik itu?
Faktor apa saja yang menyebabkan seseorang menjadi rentan terhadap serangan stroke?
Apa tanda dan gejala umum pada stroke?
Bagaimana menanggulangi stroke dengan perawatan umum?
Apakah orang yang menderita stroke beresiko mengalami komplikasi lanjutan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan kondisi medis pada umumnya?


C. PEMBAHASAN
Bencana peredaran darah di otak(BPDD) sering dikenal dengan nama stroke atau cerebrovascular accident,merupakan penyebab invaliditas yang paling pada golongan umur diatas 45 tahun. Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian dan semata-mata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik (Mansjoer, 2000).
1. Stroke dibedakan menjadi dua jenis,yaitu stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik.
a. stroke non-hemoragik
stroke non-henoragik terjadi karena penurunan aliran darah sampai di bawah titik kritis,sehingga terjadi gangguan fungsi pada sebagian jaringan otak.bila hal ini lebih berat dan berlangsung lebih lama dapat terjadi infark dan kematian.berkurangnya aliran darah ke otak dapat disebabkan oleh berbagai hal:misalnya thrombus, emboli yang menyumbat salah satu pembuluh darah, atau gagalnya pengaliran darah oleh sebab lain, misalnya kelainan jantung (fibrilasi, asistol).
Stroke non-hemoragik lebih sering dijumpai daripada yang hemoragik.diagnosis mudah ditegakan,yaitu timbulnya deficit neureologik secara mendadak(misalnya hemiparesis),dan kesadaran penderrita umumnya tidak menurun.pada stroke yang ringan, iskemia berlangsung singkat,deficit neurologik dapat pulih sempurna.bila pemulihan senpurna ini terjadi dalam jangka waktu 24 jam,disebut transient ischemic attack(TIA).Bila pulih sempurna terjadi setelah waktu 24 jam,disebut deficit neurologik iskemia yang reversible(reversible ischemic neurologic deficit atua RIND).Pada iskemia yang lebih berat atau berlangsung lama,terjadi deficit neurologik yang irreversible,yang menetap, dan merupakan cacat .
b. stroke hemoragik
Stroke hemoragik terjadi karena salah satu pembuluh darah di otak (aneurisma,mikroaneurisma,kelainan pembuluh darah congenital) pecah atau robek.Keadan penderita stroke hemoragik umumnya lebih parah .Kesadaran umumnya menurun.Mereka berada dalam keadaan somnolen, osmnolen, spoor, atau koma pada fase akut (www.cerminduniakedokteran.co.id).
2. faktor-faktor resiko rentan terhadap serangan stroke
Banyak faktor resiko yang dapat membuat seseorang yang menjadi rentan terhadap serangan stroke, secara garis besar faktor resiko itu dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol yaitu:
(1) Umur, semakin tua kejadian stroke semakin tinggi, (2) Ras / bangsa : Negro / Afrika, Jepang, dan Cina lebih sering terkena stroke, (3) Jenis kelamin, laki-laki lebih beresiko dibanding wanita, (4) Riwayat keluarga yang pernah mengalami stroke.
Faktor resiko yang dapat dikontrol
(1) Hipertensi, ( 2) Diabetes Millitus, (3) Merokok (4) Hiperlipidemia dan Kolesterol, (5) Obesitas, (6). Penggunaan obat – obatan yang mempengaruhi serebrovaskuler, seperti : amfetamin, kokain, dan sejenis.
3. Tanda dan Gejala Klinis
Tanda dan gejala yang ditimbulkan sangat bervariasi tergantung dari topis dan derajat beratnya lesi. Akan tetapi tanda dan gejala yang dijumpai pada penderita post stroke secara umum yaitu :
a. Gangguan Motorik
Gangguan motorik yang terjadi yaitu : (1) tonus abnormal, baik hipo/ hipertonus, (2) penurunan kekuatan otot, (3) gangguan gerak volunter, (4) gangguan keseimbangan, (5) gangguan koordinasi, (6) gangguan ketahanan.
b. Gangguan Sensorik
Gangguan sensorik yang ditimbulkan adalah : (1) gangguan propioreseptik, (2) gangguan kinestetik, (3) gangguan diskriminatif.





c. Gangguan kognitif, memori dan atensi.
Pada gangguan kognitif ini akan terlihat adanya gangguan pada atensi, memori, inisiatif, daya perencanaan dan fleksibilitas, abstraksi insight menurun, dan cara penyelesaian suatu masalah (Nugrahati, 1992).
d. Gangguan kemampuan fungsional
Gangguan kemampuan fungsional yang ditimbulkan pada pasien stroke meliputi gangguan aktifitas mandi, makan, berpakaian, pergi ke toilet, transfer ambulasi, blader dan bowel.
4. Komplikasi
Pasien yang telah menderita stroke beresiko mengalami komplikasi lanjut yang terjadi akibat imobilitas, serta masalah – masalah yang berhubungan dengan kondisi medis umumnya (Garison, 2001). Komplikasi yang ditimbulkan jika kita lihat dari pada pernafasan seperti pneumonia, subluksasi sendi bahu, trombosis vena profunda, shoulder hand syndrome, spastisitas, ulcer decubitus
1. Pneumonia
Salah satu masalah yang paling serius dari stroke adalah radang paru-paru/ pneumonia. Itu dibuktikan pada penelitian yang telah menemukan bahwa dari 58 % kematian pasien stroke penyebab utamanya adalah radang paru-paru (Bakke, 2001).
2. Subluksasi sendi bahu
Subluksasi sendi bahu yang terjadi akibat adanya gangguan faktor biomekanik stabilitas sendi bahu karena kelemahan otot rotator cuff mengakibatkan perlindungan terhadap sendi bahu tidak ada (Garison, 2001;Agus Sujono, 1992).
3. Trombosis vena profunda
Kira–kira 30 %-50 % pasien stroke menderita trombosis vena profunda pada deep vein trombosis (DVT) pada tungkai. Resiko terjadinya emboli paru dengan DVT kurang lebih 10 % pada pasien stroke. Hal ini disebabkan thrombus dari pembuluh darah balik terlepas membentuk emboli, bersama darah menuju keparu-paru sehingga terjadilah emboli paru (Garison, 2001).
4. Shoulder hand syndrome
Shoulder Hand syndrome/ sindroma tangan bahu merupakan suatu bentuk komplikasi pasca stroke yang telah dikenal secara baik walaupun kondisi ini jarang ditemui pada pasien pasca stroke.Gejala ini ditandai dengan adanya nyeri pada gerak aktif dan pasif pada bahu yang terkena, diikuti nyeri pada gerakan ekstensi pergelangan tangan dan bengkak pada pergelangan tangan dan tangan (Garison, 2001;Agus Sujono, 1992) .
5. Spastisitas
Spastisitas terjadi karena pengaruh hambatan kortikal dimana terjadi peningkatan tonus lebih tinggi dari normal karena terputusnya aktifitas strech reflek karena hilangnya kontra supra spinal (sistem ekstrapiramidalis) (Garison, 2001).
6. Ulcer decubitus
Ulcer decubitus terjadi karena gangguan sensoris sehingga tidak merasakan adanya tekanan pada daerah yang menonjol pada tubuh yang kontak langsung dengan bed dalam waktu lama, pembuluh darah tertekan, dan terjadilah nekrosis pada daerah yang tertekan.
5. Penanggulangan Stroke
Penanggulangan stroke dapat dilakukan dengan cara perawatan umum,yaitu:
a. Memonitor dan bila perlu memperbaiki fungsi pernapasan, tekanan darah, dan jantung.
b. Mengusahakan keadaan metabolisme yang optimal, memperhatikan kebutuhan akan cairan, kalori, dan elektrolit.
c. Memperhatikan fungsi miksi dan defekasi
d .Mencegah terjadinya dekubitus,pneumonia ortostatik
e,Melakukan rehabilitasi

D. KESIMPULAN
stroke atau bencana peredaran darah di otak merupakan penyebab kematian ke-dua yang paling lazim di dunia.Walaupun didapatkan kemajuan pesat dalam bidang diagnostic serta pemahaman patofisiologi pada stroke,namun dalam bidang pengobatan kemajuannya sangat lambat sehingga perlu ditingkatkan.
Stroke apabila sudah terjadi infark (pendarahan otak) maka pengaruh obat-obatan tidak banyak artinya, agar dapat tercapai hidup yang sehat dengan kecil kemungkinan terkena serangan stroke maka apabila factor resiko dapat ditanggulangi dengan baik, kemungkinan mendapatkan stroke dapat dikurangi




DAFTAR PUSAKA


Departemen kesehatan RI (1992). Undang – Undang RI no.23 tahun 1992 tentang kesehatan. Jakarta : DepKes RI.

Prasetya hudaya (2003). Patologi Umum. Politeknik Keseshatan Suarkarta Jurusan fisioterapi.

Sri Mardiman, dkk 92001). Modulasi Nyeri dan mekanisme Pengurangan Nyrei dengan Modalitas Fisioterapi : Makalah Penatalaksanaan fisioterapi Komprehensif Pada Nyeri. Akademi fisioterapi surakarta DEPKES dan sasana Husada Pro fisio.

READ MORE - STROKE HEMORAGIK dan STROKE NON-HEMORAGIK

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PASCA ORIF PADA FRAKTUR FEMUR 1/3 DISTAL DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW

Pada hakikatnya, pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya, jasmani dan rohani yang dilaksanakan secara terarah, terpadu menyeluruh dan berkesinambungan. Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat sehingga tercapai derajat kesehatan optimal.
Dalam konsep paradigma sehat menuju Indonesia sehat 2010, tujuan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dengan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang optimal di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI,1999).
Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, Fisioterapi sebagai salah satu tim kesehatan harus berperan aktif dalam meningkatkan kualitas hidup dan derajat kesehatan masyarakat dengan cara menguasai ilmu pengetahuan dan skill yang optimal sesuai dengan bidang, serta memiliki profesionalisme yang tinggi.



A. Latar Belakang

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan ke arah perkembangan di bidang industri yang lebih maju. Hal ini ditandai dengan munculnya industri-industri baru yang didukung dengan teknologi yang serba canggih.
Hasil dari adanya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, salah satunya adalah terjadi peningkatan jumlah alat transportasi. Dengan adanya peningkatan jumlah alat transportasi menyebabkan terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Selain itu adanya kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga dapat mengakibatkan adanya kecelakaan kerja ataupun kecelakaan dalam rumah tangga. Dimana akan mengakibatkan berbagai macam cidera mulai dari cidera yang sifatnya ringan sampai berat. Yang lebih memprihatinkan lagi dapat mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang atau meninggal dunia. Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu-lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim, disebut sebagai trauma benda tumpul. Ada tiga trauma yang paling sering terjadi dalam peristiwa ini, yaitu trauma kepala, fraktur (patah tulang) dan trauma dada (Amrizal,2007).
Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka, yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Dari semua jenis fraktur, fraktur tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki insiden yang cukup tinggi (Amrizal,2007). Salah satu bentuk cidera yang terjadi adalah Fraktur Femur 1/3 Distal. Dengan banyaknya kasus fraktur, peran Rumah Sakit juga sangat diperlukan untuk menangani kasus tersebut. Ada dua penanganan fraktur. Yaitu konservatif dan operatif. Metode konservatif adalah penanganan fraktur dengan reduksi atau reposisi tertutup. Dimana prinsip reposisi adalah berlawanan dari arah fraktur. Setelah reposisi, dilakukan immobilisasi untuk mencegah fragmen fraktur bergerak dan untuk memfasilitasi penyambungan tulang. Sedangkan metode operatif adalah dengan reduksi terbuka yaitu membuka daerah yang mengalami fraktur dan memasangkan fiksasi internal. Disini fiksasi internal yang biasa digunakan untuk fraktur femur 1/3 distal adalah Plate and Screw. Metode operatif merupakan metode yang paling cocok karena beberapa fraktur (misalnya pada batang femur) sulit direduksi dengan manipulasi karena tarikan otot yang sangat kuat dan membutuhkan waktu traksi yang lama (Apley,1995). Selain itu hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dari penjelasan di atas, maka penulis mengambil judul studi kasus tentang penanganan pasca open reduction internal fixation (ORIF) fraktur femur 1/3 distal tanpa disertai adanya komplikasi. Biasanya masalah fisioterapi yang muncul segera setelah operasi open reduction internal fixation (ORIF), pasien telah sadar dan berada di bangsal adalah oedem atau bengkak, nyeri, keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot serta penurunan kemampuan fungsionalnya yaitu berjalan dikarenakan luka bekas operasi dan luka bekas trauma. Oleh karena itu fisioterapis bekerja untuk mengatasi masalah-masalah itu secara tepat dan cepat agar dapat menurunkan atau menghilangkan derajat permasalahan dan pasien dapat kembali ke aktivitas semula. Salah satu modalitas yang digunakan fisioterapis adalah terapi latihan.
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerak aktif maupun pasif (Priatna, 1985). Modalitas terapi latihan yang diberikan berupa static contraction yang disertai dengan positioning yang dapat membantu mengurangi oedema, dengan oedem berkurang maka dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Passive movement dan hold relax diharapkan dapat membantu meningkatkan dan memelihara lingkup gerak sendi. Active movement diharapkan dapat membantu meningkatkan nilai kekuatan otot. Selain itu, fisioterapis juga harus memberikan latihan transfer dan ambulasi, terutama latihan jalan untuk mengembalikan kemampuan fungsionalnya.

B. Rumusan Masalah

Pada kondisi pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan masalahnya : (1) apakah Static Contraction yang disertai positioning dapat mengurangi oedem dan nyeri? (2) apakah Passive Movement dan Hold Relax dapat meningkatkan lingkup gerak sendi? (3) apakah Active Movement dapat meningkatkan kekuatan otot? (4) apakah latihan jalan dapat meningkatkan kemampuan fungsionalnya?


C. Tujuan Penulisan

Pada kasus pasca ORIF Fraktur Femur 1/3 Distal dapat dirumuskan : (1) untuk mengetahui manfaat static contraction yang disertai positioning dalam mengurangi oedem dan nyeri, (2) untuk mengetahui manfaat passive movement dan hold relax dalam meningkatkan lingkup gerak sendi, (3) untuk mengetahui manfaat active movement dalam meningkatkan kekuatan otot, (4) untuk mengetahui manfaat latihan jalan dalam meningkatkan kemampuan fungsional jalan.















BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

Dalam deskripsi kasus memuat anatomi fungsional, definisi, etiologi, patologi, tanda dan gejala, komplikasi, prognosis.

1. Anatomi Fungsional

a. Sistem tulang
1) Tulang femur
Femur, tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh meneruskan berat tubuh dari os coxae kepada tibia sewaktu kita berdiri. Femur ke proksimal membentuk articulatio coxae, dimana caput femur akan berhubungan dengan acetabulum, gerakan yang akan terjadi adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal. Sedangkan femur ke distal berhubungan dengan patella membentuk articulatio genu, dimana gerakan yang mungkin terjadi adalah fleksi dan ekstensi lutut. Caput femoris menganjur ke arah craniomedial dan agak ke ventral sewaktu bersendi dengan acetabulum. Ujung proksimal femur terdiri dari sebuah caput femoris, collum femoris dan dua trochanter (trochanter mayor dan trochanter minor). Caput femoris dan collum femoris membentuk sudut (115o-140o) terhadap poros panjang corpus femoris, sudut ini bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. Meski demikian memungkinkan daya gerak femur pada articulatio coxae yang lebih besar, keadaan ini juga melimpahkan beban yang cukup besar pada collum femoris. Corpus femoris berbentuk lengkung, yakni cembung ke arah anterior. Ujung distal femur berakhir menjadi dua condylus yaitu condylus medialis dan condylus lateralis yang melengkung bagaikan ulir (Moore,2002). Femur mengadakan persendian dengan tiga tulang, yaitu tulang coxae, tulang tibia dan patella (Pearce,2006).
2) Tulang patella
Patella atau tempurung lutut adalah tulang yang berkembang di dalam tendon otot Quadriceps ekstensor. Permukaan posteriornya halus dan bersendi dengan permukaan pateler dari ujung bawah femur. Letaknya di depan sendi lutut, tetapi tidak ikut serta di dalamnya (Pearce,2006).
3) Tulang tibia dan fibula
Tibia yang besar dan merupakan penyangga beban, proksimal bersendi dengan condylus femur dan distal dengan talus (Moore,2002).










Keterangan gambar 1 :

1. Caput femoris
2. Collum femoris
3. Trochanter minor
4. Trochanter major
5. Linea intertrochanterica
6. Corpus femoris
7. Epicondilus Medialis
8. Facies patellaris
9. Epicondylus lateralis
10. Crista intectrochantorica
11. Linea pectinea
12. Linea aspera
13. Condylus medialis
14. Condylus lateralis
15. Fossa intercondylaris













Gambar 2.1
Tulang femur, tampak depan dan belakang (Putz and Pabst, 2000)


b. Sistem otot
Untuk gerakan fleksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot iliacus dan otot psoas mayor. Untuk gerakan ekstensinya dilakukan oleh otot gluteus maximus dan hamstrings (biceps femoris, semitendinosus, semimembranosus).
Gerakan abduksi pada articulatio coxae dilakukan oleh otot gluteus medius, gluteus minimus dan otot pembantu tensor fascialata (Daniels,1995).
Gerakan adduksi pada articulatio coxae terjadi melalui otot adductor magnus, adductor brevis, pectineus dan gracilis.
Untuk gerakan rotasi internal pada articulatio coxae terjadi melalui otot gluteus minimus, gluteus medius, tensor fasciae latae, sedangkan gerakan rotasi eksternal dilakukan oleh otot obturatorius externus, obturatorius internus, quadratus femoris, piriformis, gemellus superior, gemellus inferior, gluteus maximus (Daniels,1995).
Otot ekstensor tungkai bawah pada articulatio genu atau otot ekstensor lutut yang menutupi bagian femur anterior, medial, lateral yaitu otot quadriceps femoris dan terdiri dari (a) otot rectus femoris di sebelah anterior paha, (b) otot vastus lateralis yang terdapat pada sisi lateral paha, (c) otot vastus medialis yang menutupi sisi medial paha dan (d) otot vastus intermedius yang terletak di sebelah dalam otot rectus femoris dan antara otot vastus medialis dan otot vastus lateralis (Moore,2002).
Fleksi lutut terjadi melalui otot-otot hamstrings (lateral biceps femoris dan medial semitendinosus serta semimembranosus) (De Wolf,1994). Selain itu gerakan fleksi lutut juga dibantu oleh otot sartorius dan gracilis (De wolf, 1994).

Keterangan Gambar 2:

1. M. psoasmajor
2. M. Iliacus
3. M. Iliopsoas
4. M. tensor fasciae Latae
5. M. rectus femoris
6. M. vastus lateralis
7. M. psoas minor
8. M. pectineus
9. M. adductor longus
10. M. sartorius
11. M. adductor magnus
12. M. gracilis
13. M. vastus medialts































Gambar 2
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari anterior (Putz and Pabst, 2000)



Keterangan Gambar 3 :

1. M. gluteus maximus
2. M. gracilis
3. M. semitendinosus
4. M. semimembranosus
5. M. gastrocnemius
6. M. gluteus medius. fascia
7. M. vastus lateralis
8. M. biceps femoris



































Gambar 3
Otot paha penguat sendi lutut dilihat dari posterior (Putz and Pabst, 2000)


c. Sistem sendi
1) Articulatio coxae
Terbentuk diantara caput femoris tulang femur dan acetabulum os coxae yang berbentuk mangkuk, permukaan sendi acetabulum berbentuk tapal kuda dan terbuka di bagian bawah pada incisura acetabuli. Jenis sinovial “Ball and Socket” (Richard,1998). Gerakan yang terjadi pada articulatio coxae adalah fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi internal dan rotasi eksternal.
2) Articulatio genu
Sendi sinovial jenis engsel yang memungkinkan sedikit gerak rotasi sewaktu berada dalam sikap fleksi.
Articulatio genu secara mekanis bersifat tidak stabil karena bentuk permukaannya yang datar. Untuk kekuatan articulatio genu tergantung pada ligamentum yang mengikat femur pada tibia (Moore,2002). Gerakan yang dapat dilakukan pada sendi ini adalah fleksi-ekstensi, yang mana terjadi pada bidang gerak sagital dengan axis tranversal. Luas gerak sendi untuk gerakan fleksi berkisar antara 130o – 140o, sedangkan untuk gerakan ekstensi nilainya 0o, apabila nilainya berkisar antara 5o – 10o maka terjadi hyperekstensi, tetapi masih dalam batas normal (Norkin, 1995).

2. Definisi
a. Terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna, 1985).
b. Pasca
Pasca berarti setelah (Ramali, 1987).
c. Open Reduction Internal Fixation
Apabila diartikan dari masing-masing kata adalah sebagai berikut; Open berasal dari bahasa Inggris yang berarti buka, membuka, terbuka (Jamil,1992), Reduction berasal dari bahasa Inggris yang berarti koreksi patah tulang (Ramali, 1987), Internal berasal dari bahasa Inggris yang berarti dalam (Ramali, 1987), Fixation berasal dari bahasa Inggris yang berarti keadaan ditetapkannya dalam satu kedudukan yang tidak dapat berubah (Ramali, 1987). Jadi dapat disimpulkan sebagai koreksi patah tulang dengan jalan membuka dan memasang suatu alat yang dapat membuat fragmen tulang tidak dapat bergerak.
d. Plate and screw
Plate berarti struktur pipih atau lapisan (Dorland,1998). Screw berarti silinder padat (Dorland,2002). Plate and screw berarti suatu alat untuk fiksasi internal yang berbentuk struktur pipih yang disertai alat berbentuk silinder padat untuk memfiksasi daerah yang mengalami perpatahan.
e. Fraktur femur 1/3 distal
Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang, dikarenakan trauma langsung, trauma tidak langsung, faktor tekanan atau kelelahan dan faktor patologik (Appley,1995). Pada kasus ini terjadi pada 1/3 bagian distal femur.

3. Etiologi

Menurut etiologinya fraktur dapat disebabkan oleh : (a) trauma yang terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, (b) karena tekanan pada tulang sehingga tulang mengalami kelelahan, (c) karena penyakit pada tulang atau faktor patologik.
Oedem, nyeri, gangguan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot dan gangguan aktivitas berjalan disebabkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.

4. Patologi
Pada kasus fraktur femur 1/3 distal, tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki posisi fragmen adalah dengan reduksi secara terbuka atau dengan tindakan operasi (Appley, 1995). Pada tindakan operasi akan dilakukan incisi pada tungkai atas bagian lateral dan pemasangan plate and screw untuk mendekatkan ujung fragmen dan untuk fiksasi. Dengan adanya tindakan operasi ini, maka akan terjadi kerusakan jaringan lunak. Tindakan operasi akan menyebabkan reaksi radang, pembuluh darah vasodilatasi sehingga permeabilitas dinding akan meningkat. Dengan meningkatnya permeabilitas dinding maka cairan eksudat keluar dan meningkatkan tekanan pada jaringan interstitial. Kumpulan cairan eksudat akan mengakibatkan oedem. Oedem akan menekan nociceptor sehingga akan timbul nyeri. Apabila terasa nyeri, biasanya pasien enggan untuk bergerak, sehingga dapat menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi. Apabila hal ini dibiarkan terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama, maka akan terjadi penurunan kekuatan otot sehingga aktivitas fungsional pasien juga akan menurun khususnya aktivitas jalan.
Namun secara fisiologis, tulang mempunyai kemampuan untuk menyambung sendiri setelah patah tulang. Proses penyambungan tulang pada setiap individu berbeda-beda. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyambungan tulang adalah (1) usia pasien, (2) jenis fraktur, (3) lokasi fraktur, (4) suplai darah, (5) kondisi medis yang menyertainya (Garrison,1995). Proses penyambungan tulang terdiri dari tahapan-tahapan :
a. Hematoma
Pembuluh darah robek, darah keluar sehingga terbentuk kumpulan darah di sekitar dan di dalam tempat yang mengalami fraktur. Tulang pada ujung fragmen yang tidak mendapat pasokan darah, akan mati sepanjang satu atau dua millimeter (Appley,1995).
b. Proliferasi
Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam canalis medullaris yang terkoyak. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan yang kaya sel, yang menghubungkan ujung fragmen fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu (Appley,1995).
c. Pembentukan callus
Selama beberapa minggu berikutnya, callus bervaskular masih lunak, penuh dengan sel berbentuk kumparan yang aktif. Tulang spongiosa membentuk callus bila kedua ujung fragmen berdekatan, sedangkan tulang kortikal dapat membentuk callus walaupun kedua ujung fragmen tidak berdekatan. Pergerakan yang lembut dapat merangsang pembentukan callus pada fraktur tulang panjang. Setelah dua minggu endapan kalsium telah cukup terdapat pada callus yang dapat dilihat pada foto sinar-X dan diraba dengan palpasi. Callus yang mengalami kalsifikasi ini secara lambat diubah menjadi ‘anyaman tulang’ longgar terbuka yang membuat ujung tulang menjadi melekat dan mencegah pergerakan ke samping satu sama lain (King, 2001).
d. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoklast (sel yang meresorpsi tulang) dan osteoblast (sel yang membentuk tulang) berlanjut, tulang baru akan berubah menjadi tulang lamellar (berlapis-lapis). Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan dekat di belakangnya osteoblast mengisi celah-celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru (Apley,1995).
e. Remodelling
Tulang yang fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk akhirnya tulang akan memperoleh bentuk yang mirip dengan bentuk normalnya (Appley,1995).


5. Tanda dan gejala

Menurut Appley dikatakan tanda dan gejala pasca operasi fraktur adalah : (a) oedem di sekitar daerah fraktur, (b) rasa nyeri dikarenakan luka fraktur dan luka bekas operasi dan ada oedem di dekat daerah fraktur, (c) keterbatasan gerak sendi lutut, (d) penurunan kekuatan otot, (e) gangguan aktifitas fungsional tungkai, (f) bila di foto Roentgen akan terlihat garis fraktur (Appley,1995).

6. Komplikasi


Beberapa komplikasi yang dapat timbul pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah :
a) Infeksi
Infeksi terjadi karena masuknya mikroorganisme patogen ke dalam daerah fraktur dan karena fiksasi internal yang di pasang di dalam tubuh pasien mungkin tidak steril atau karena teknik, perlengkapan dan keadaan operasi yang buruk (Adam, 1992).
b) nekrosis avaskular
Ini adalah komplikasi dini dari cedera tulang, karena iskemia terjadi selama beberapa jam pertama setelah fraktur (Appley,1995).
c) Deep Venous Trombosis ( DVT )
Komplikasi yang paling sering ditemukan pada cedera dan operasi. Di Indonesia insidensi yang sebenarnya tidak diketahui. Penyebab utama Deep Venous Thrombosis pada pasien pembedahan adalah hiperkoagulabilitas darah, terutama akibat aktivasi faktor X oleh tromboplastin yang dilepas oleh jaringan yang rusak. Faktor-faktor sekunder yang penting, seperti imobilisasi yang lama, kerusakan endotel dan peningkatan jumlah dan kelengketan trombosit dapat diakibatkan oleh cedera atau operasi (Appley,1995).

7. Prognosis


Penderita fraktur femur setelah operasi pemasangan fiksasi internal dengan plate and screw bila tanpa komplikasi dan mendapat layanan fisioterapi yang cepat, tepat dan adekuat diharapkan kapasitas fisik dan kemampuan fungsionalnya, baik Quo ad vitam, Quo ad sanam, Quo ad fungsionam, ataupun Quo ad cosmeticam baik.

B. Deskripsi problematika kasus

Problematika yang dapat muncul pada pasca operasi fraktur femur 1/3 distal adalah meliputi :

1. Impairment

a. Oedem di sekitar daerah fraktur
Oedem yang terjadi karena adanya luka bekas operasi, sehingga tubuh memberikan respon radang atas kerusakan jaringan di dekat daerah fraktur.
b. Nyeri di sekitar luka operasi
Adanya luka bekas operasi serta adanya oedem di dekat daerah fraktur, menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan interstitial sehingga akan menekan nociceptor, lalu menyebabkan nyeri.
c. Keterbatasan lingkup gerak sendi
Karena oedem dan nyeri yang disebabkan oleh luka fraktur dan luka operasi menyebabkan pasien takut untuk bergerak, sehingga lingkup gerak sendi lama-lama akan mengalami gangguan atau penurunan.
d. Penurunan kekuatan otot
Oedem dan nyeri karena luka bekas operasi dapat menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin menggerakkan anggota geraknya dan dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan disused atrophy.

2. Functional Limitation

Adanya oedem dan nyeri menyebabkan pasien mengalami penurunan kemampuan fungsionalnya, seperti transfer, ambulasi, jongkok berdiri, naik turun tangga, keterbatasan melakukan Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK).
Hal ini disebabkan adanya rasa nyeri, oedem, dan karena penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna, sehingga pasien belum mampu menumpu berat badan dan melakukan aktifitas sehari-hari secara optimal.

3. Participation Restriction

Oleh karena nyeri, oedem dan keterbatasan fungsional, pasien tidak mampu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya atau bersosialisasi dengan orang lain.



C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Teknologi Fisioterapi yang digunakan dalam kasus ini adalah terapi latihan. Terapi latihan adalah usaha pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya menggunakan latihan-latihan gerakan tubuh, baik secara aktif maupun pasif (Priatna,1985).
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan dielevasikan sekitar 30o.

1. Static Contraction

Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang, maka rasa nyeri juga dapat berkurang.

2. Passive Movement

Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985). Passive movement ada 2, yaitu :
a. Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu, maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
b. Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).

3. Active Movement

Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak tubuh pasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi.
Active Movement terdiri dari :
a. Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri karena merangsang relaksasi propioseptif.
c. Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi. Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.

4. Hold Relax

Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut. Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).

5. Latihan Jalan

Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihan jalan dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat badan sampai full weight bearing atau menumpu berat badan. Metode jalan yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun swing through dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri walaupun masih menggunakan alat bantu.





















BAB III

RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS

A. Rencana Pengkajian kasus

1. Anamnesis

Anamnesis adalah proses tanya jawab untuk mendapatkan data pasien beserta keadaan dan keluhan-keluhan yang dialami pasien. Anamnesis dapat dibagi menjadi dua, yaitu auto anamnesis dan hetero anamnesis. Auto anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan penderita sendiri. Sedangkan hetero anamnesis adalah bila tanya jawab dilakukan dengan orang lain yang dianggap mengetahui keadaan penderita (Hudaya, 2002).
a. Anamnesis umum
Dalam anamnesis umum ini berisi identitas pasien, dari anamnesis ini bukan hanya dapat diketahui siapa pasien, namun juga dapat diketahui bagaimana pasien tersebut dan permasalahan pasien. Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, alamat, agama dan pekerjaan pasien.
b. Anamnesis khusus, terdiri dari :
1) Keluhan utama
Merupakan keluhan atau gejala yang mendorong atau membawa penderita mencari pertolongan. Biasanya merupakan ada tidaknya nyeri, oedem, keterbatasan gerak sendi akibat fraktur.
2) Riwayat penyakit sekarang
a) Riwayat perjalanan penyakit
Menggambarkan riwayat penyakit secara lengkap dan jelas. Yang biasa ditanyakan adalah kapan terjadi fraktur, mekanisme terjadinya fraktur, penanganan pertama setelah trauma, dimana letak keluhan, faktor yang memperberat dan memperingan keluhan.
b) Riwayat pengobatan
Menggambarkan segala pengobatan yang pernah didapat sebelumnya, riwayat penanganan fraktur yaitu sudah pernah berobat atau ditangani dimana sebelumnya, bagaimana cara penanganannya dan bagaimana hasilnya.
3) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit baik fisik maupun psikiatrik yang pernah diderita sebelumnya. Dapat diketahui apakah pasien dulu pernah mondok, pernah mempunyai penyakit yang serius, trauma, pembedahan.
4) Riwayat keluarga
Penyakit-penyakit dengan kecenderungan herediter atau penyakit menular, misalnya apakah di dalam keluarga pasien ada yang mempunyai penyakit Diabetes Melitus, apakah mempunyai penyakit pada tulang.
5) Riwayat pribadi
Menggambarkan hobby, olahraga, pola makan, minum alkohol, kondisi lingkungan baik di rumah, sekolah atau tempat kerja yang mungkin ada hubungannya dengan kondisi pasien.
6) Anamnesis sistem
Anamnesis sistem ini dilakukan untuk melengkapi anamnesis atau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Anamnesis sistem ini meliputi kepala dan leher, sistem respirasi, sistem kardiovaskuler, gastrointestinal, urogenital, muskuloskeletal dan nervorum.

2. Pemeriksaan klinik

a. Pemeriksaan fisik
1) Vital Sign
Pemeriksaan ini meliputi pengukuran tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu tubuh, tinggi badan, berat badan. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui apakah pasien menderita hipertensi, takikardi, demam ataupun obesitas.
2) Pemeriksaan setempat di tempat operasi
a) Inspeksi
Pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati (Mardiman,1994). Hal-hal yang dapat diamati dalam kasus ini adalah adanya oedem atau bengkak ataupun perubahan warna kulit pada daerah yang dioperasi.
b) Palpasi
Pemeriksaan dengan jalan meraba, menekan dan memegang bagian tubuh pasien untuk mengetahui tentang adanya nyeri tekan, suhu, oedem atau adanya spasme otot (Mardiman,1994).
3) Pemeriksaan gerak ditujukan pada anggota gerak yang mengalami operasi
Pemeriksaan gerak meliputi :
a) Pemeriksaan gerak aktif
Pemeriksaan gerak aktif dilakukan pada sendi lutut. Pasien secara aktif menggerakkan anggota tubuhnya yang mengalami gangguan dengan aba-aba dari terapis. Gerakan yang dilakukan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang lingkup gerak sendi aktif, rasa nyeri, koordinasi serta kekuatan otot.
b) Pemeriksaan gerak pasif
Terapis menggerakkan anggota tubuh pasien yang mengalami gangguan. Pemeriksaan gerak pasif ini dilakukan pada sendi lutut dan sendi panggul. Gerakan meliputi fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul. Dari pemeriksaan gerak pasif ini didapatkan informasi tentang lingkup gerak sendi pasif, rasa nyeri, dan stabilitas sendi.
c) Pemeriksaan gerak isometrik melawan tahanan
Pasien menggerakkan tungkainya secara aktif sementara terapis memberi tahanan. Pasien berusaha menggerakkan tungkainya baik fleksi-ekstensi sendi lutut dan abduksi-adduksi sendi panggul, namun tidak ada gerakan dalam sendi. Pemeriksaan gerak isometrik ini ditujukan untuk mengetahui kekuatan otot dan adanya rasa nyeri.
b. Pemeriksaan spesifik
1) Pemeriksaan nyeri
Pemeriksaan nyeri bertujuan untuk memeriksa derajat nyeri yang dirasakan oleh pasien saat itu. Sebelum mengukur derajat nyeri, terapis mengajarkan kepada pasien tentang skala nyeri Verbal Descriptive Scale (VDS) itu sendiri. Bahasa yang digunakan terapis adalah bahasa yang sederhana, sehingga pasien memahami maksud dari pengukuran tersebut. Pemeriksaan dengan verbal descriptive scale (VDS) dilakukan dengan tiga pemeriksaan yaitu pemeriksaan nyeri saat diam, tekan dan saat digerakkan.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan VDS, yaitu derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian :
TABEL 3.1
Kriteria Verbal Descriptive Scale (VDS)

Skala Keterangan
1
2
3
4
5
6
7 Tidak nyeri
Nyeri sangat ringan
Nyeri ringan
Nyeri tidak begitu berat
Nyeri cukup berat
Nyeri berat
Nyeri hampir tak tertahankan
(Pudjiastuti,2003)
2) Pemeriksaan antropometri
Pemeriksaan untuk mengetahui lingkar segmen tungkai atas dan tungkai bawah bilateral. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Titik patokan adalah Tuberositas tibia. Kemudian terapis mengukur mulai dari Tuberositas Tibia ke atas mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia atau lingkar segmen tungkai atas dan Tuberositas ke bawah mulai 10 cm untuk mengukur circumferentia tungkai bawah. Pemeriksaan ini salah satunya digunakan untuk mengetahui apakah ada oedem atau tidak. Hasil dari pengukuran kemudian dibandingkan antara sisi yang sehat dan sisi yang sakit karena oedem dapat terjadi pada sisi yang sakit diakibatkan adanya luka fraktur dan luka bekas operasi.
3) Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui derajat keterbatasan gerak pasien. Pemeriksaan lingkup gerak sendi ini dengan menggunakan goniometer, dimana as goniometer diletakkan di condylus lateral femur untuk gerakan fleksi-ekstensi lutut. Tangkai statik diletakkan sejajar tulang femur dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang fibula. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk fleksi dan ekstensi lutut adalah (S) 0o-0o-130o, bila ekstensi 5o-10o dikatakan hiperekstensi, namun masih dalam batas normal (Norkin,1995). Untuk gerakan abduksi-adduksi sendi panggul, as goniometer diletakkan di Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS). Tangkai statik diletakkan menuju arah Spina Iliaca Superior Inferior (SIAS) yang berlawanan dan tangkai dinamis diletakkan sejajar tulang femur. Posisi pasien berbaring terlentang. Lingkup gerak sendi yang normal untuk abduksi-adduksi sendi panggul adalah (S) 45o-0o-25o (Russe,1975).
TABEL 3.2
Lingkup Gerak Sendi normal
Sendi panggul
(Abduksi) Sendi panggul
(Adduksi) Sendi lutut
(Fleksi) Sendi lutut
(Ekstensi)
45o 25o 130o 0o


4) Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan kekuatan otot ini dengan menggunakan Manual Muscle Testing (MMT), pemeriksaan ini dengan menggunakan tahanan manual dari terapis. Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan pada sisi yang sakit. Kelompok otot yang akan dinilai kekuatan ototnya adalah kelompok fleksor dan ekstensor lutut. Dalam pemeriksaan ini harus diperhatikan : (a) posisi pasien, (b) stabilisasi, (c) besarnya tahanan dari terapis, karena pemeriksaan kekuatan otot dengan manual muscle testing bersifat subjektif sehingga hasilnya kurang valid.

TABEL 3.3
Kriteria Hasil MMT
Kriteria Tes MMT Keterangan
0 (zero) Tidak ada kontraksi otot
1 (trace) Ada kontraksi otot tetapi tidak terjadi gerakan
2 (poor) Mampu bergerak penuh tanpa melawan gravitasi
3 (fair) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi
4 (good) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan moderat
5 (normal) Mampu bergerak penuh melawan gravitasi dengan tahanan maksimal

5) Pemeriksaan aktivitas fungsional
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan pasien dalam beraktivitas terutama kemampuan jalannya. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati kemampuan pasien dalam berjalan dengan menggunakan alat bantu yaitu axilla kruk serta jarak tempuh yang dapat dicapai pasien.

3. Diagnosis fisioterapi

Pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal dapat ditemukan masalah-masalah yaitu berupa impairment, functional limitation dan participation restriction. Impairment berupa oedem, nyeri, keterbatasan gerak dan penurunan kekuatan otot. Functional limitation berupa penurunan kemampuan fungsionalnya seperti penurunan kemampuan berjalan. Participation restriction berupa ketidakmampuan pasien dalam aktivitas yang berhubungan dengan lingkungan sekitar.

B. Tujuan Fisioterapi

Berdasarkan problematik dan diagnosis fisioterapi di atas, tujuan fisioterapi adalah mengurangi oedem, mengurangi nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, meningkatkan kekuatan otot dan mengembalikan kemampuan transfer dan ambulasi yaitu kemampuan jalannya, sehingga pasien dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari secara optimal.



C. Rencana Pelaksanaan Terapi

Sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, pasien dalam posisi mengelevasikan tungkai atas yang sakit dengan diganjal bantal pada tungkai bawah sisi yang sakit sehingga membentuk sudut 30o.
Adapun pelaksanaan terapi latihan berturut-turut :


1. Static Contraction

Latihan ini dilakukan segera setelah pasien berada di bangsal atau hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, ditujukan untuk otot quadriceps femoris. Tangan terapis berada di bawah fossa poplitea sisi yang sakit, lalu pasien diminta menekan tangan terapis selama 6 kali hitungan. Latihan ini dilakukan sekali sehari dengan pengulangan 10-12 kali dan dilakukan setiap hari. Latihan ini diharapkan dapat mengurangi oedem dan nyeri.

2. Passive Movement

a. Relaxed Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Terapis menggerakkan tungkai ke arah fleksi lutut secara perlahan sampai batas timbul rasa nyeri, kemudian dikembalikan lagi ke arah ekstensi lutut. Gerakan lain yang dapat dilakukan adalah abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Forced Passive Movement
Posisi pasien berbaring terlentang, terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Gerakan sama seperti relaxed passive movement, namun diakhir gerakan diberi penekanan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Gerakan ini dilakukan sekali sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

3. Active Movement

a. Free Active Movement
Gerakan ini diberikan untuk tungkai yang sakit. Posisi pasien berbaring terlentang, posisi terapis berada di sebelah lateral tungkai pasien yang sakit dan menghadap ke sisi kranial pasien. Tangan terapis yang satu memfiksasi di proksimal lutut dan yang lain di distal tungkai bawah. Pasien menggerakkan sendiri anggota gerak yang sakit. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi sendi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
b. Assisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan pada hari pertama setelah operasi. Posisi pasien berbaring terlentang, dengan satu tangan terapis menyangga di bawah proksimal lutut dan tangan yang lain berada pada distal tungkai bawah pasien. Gerakan yang dilakukan adalah fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul dan dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.
c. Ressisted Active Movement
Gerakan ini dapat dilakukan sekalipun pada hari pertama setelah operasi. Gerakan berupa fleksi-ekstensi lutut, abduksi-adduksi sendi panggul, dorsal-plantar fleksi serta inversi-eversi sendi pergelangan kaki. Terapis memberikan penahanan untuk setiap gerakan yang dilakukan. Tahanan yang diberikan bertahap dari mulai minimal sampai maksimal dan penahanan yang dilakukan sampai pasien mampu menahan rasa nyeri. Tahanan yang diberikan terapis berlawanan dari arah gerakan yang dilakukan pasien. Gerakan dilakukan 1 kali dalam sehari dengan 10-12 kali pengulangan dan dilakukan setiap hari.

4. Hold Relax

Posisi pasien berbaring terlentang, lalu pasien diminta untuk menggerakkan ke arah fleksi lutut sampai batas timbul rasa nyeri, terapis memberikan penahanan ke arah ekstensi lutut. Pasien diminta untuk mempertahankan agar tidak terjadi gerakan pada sendi. Setelah itu pasien rileks dan terapis menggerakkan ke arah fleksi lutut untuk penguluran otot-otot ekstensor.

5. Latihan Jalan

Latihan berjalan dilakukan pada hari kedua namun juga harus melihat kondisi pasien. Sebelum dilakukan latihan berjalan, pasien duduk ongkang-ongkang di tepi bed. Tungkai yang sehat diturunkan dari bed terlebih dahulu, tungkai yang sakit diturunkan dengan bantuan dari terapis. Terapis menyangga dengan cara meletakkan satu tangan di bawah bagian distal tungkai atas dan yang lainnya di distal tungkai bawah. Setelah itu pasien diberdirikan dengan menggunakan dua axilla kruk, kemudian latihan berjalan di mulai non weight bearing dengan metode three point gait dan swing to.
D. Rencana Evaluasi Hasil Terapi

Rencana evaluasi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan efek samping yang mungkin timbul dari program terapi yang diberikan. Rencana evaluasi pada kasus pasca operasi fraktur femur 1/3 distal yaitu pada tempat bekas operasi adalah : (1) oedema dengan antropometri yaitu menggunakan pita ukur, (2) nyeri dengan menggunakan Verbal Descriptive Scale (VDS), (3) lingkup gerak sendi dengan menggunakan goniometer, (4) nilai kekuatan otot dengan manual muscle testing (MMT), (5) kemampuan aktifitas fungsional dengan mengamati kemampuan transfer ambulasi pasien yaitu kemampuan berjalan serta melihat perkembangan jarak tempuh yang dapat dicapai pasien saat berjalan.


READ MORE - PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PASCA ORIF PADA FRAKTUR FEMUR 1/3 DISTAL DENGAN PEMASANGAN PLATE AND SCREW

PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA CEREBRAL PALSY DIPLEGIA SPASTIK

Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tercantum tujuan pembangunan bangsa Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum, dan untuk mencapai tujuan tersebut maka dilaksanakan pembangunan di segala bidang secara terarah, terpadu, dan menyeluruh sehingga peningkatan kualitas kehidupan rakyat Indonesia dapat tercapai.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka salah satu faktor penting yang harus diperhatikan yaitu pembangunan dalam bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan diperlukan untuk mencapai derajad kesehatan yang optimal sehingga masyarakat mempunyai kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat yang akan menyangkut semua aspek kehidupan, baik fisik, mental maupun sosial ekonomi ( UU No 23 tahun 1992).Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang optimal, yang semula berupa upaya penyembuhan berkembang menuju upaya peningkatan kualitas kesehatan yang menyeluruh serta melibatkan masyarakat untuk ikut berperan dan mendukungnya. Upaya tersebut meliputi, upaya penigkatan ( promotif), upay pencegahan ( preventif ) tanpa mengabaikan upaya penyembuhan ( curatif ), dan pemulihan ( rehabilitatif ). ( Depkes RI, 1999 ).
Fisioterapi merupakan salah satu disiplin ilmu dan bagian dari tenaga kesehatan yang mempunyai peran untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, intervensi yang diberikan adalah yang berhubungan dengan gerak dan fungsi. Fisioterapi juga juga bertanggung jawab dalam upaya meningkatkan kesehatan yang optimal, baik dari segi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif( Depkes RI, 1996)
Dalam lingkup tumbuh kembang anak fisioterapi mempunyai peran penting yaitu memberikan pelayanan secara optimal pada tahapan tumbuh kembang anak, baik pada anak dengan tumbuh kembang yang normal maupun pada anak dengan hambatan pada tumbuh kembang. CP....
A. Latar Belakang
Difinisi CP secara umum  (Ref)
Macam2 CP umum  ref..
Epid : angka kejadian CP saat ini di Internasional , Nasional, lokal (Ref)
Penyebab secara umum... (Ref).
Permasalahan ....(Ref) Posture dan kontrol gerak oleh karena adanya spastisitas secara postural
Intervensi : Medis --- Fisioterapi (re)
Fisioterapi  intervensinya?? (ref)
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh ... terapi latihan yang berupa latihan ....hasinya spastisitas menurun kemampuan fungsional meningkat.... (Ref)
Dari uraian diatas penulis akan mengajukan topik........

Pelayanan kesehatan pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak sangat penting untuk dilaksanakan karena pada masa ini merupakan tahap-tahap yang menentukan keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Baik atau tidaknya kulitas pertumbuhan dan perkembangan anak ditentukan oleh berbagai banyak faktor. Baik faktor internal yang berhubungan dengan proses pematangan organ-organ tubuh ataupun faktor eksternal yang berhubungan dengan keadaan lingkungan sekitar anak yang mendukung proses tersebut. Terjadinya gangguan terhadap proses pematangan organ-organ penting yaitu susunan saraf menjadi salah satu faktor penyebab yang serius terjadinya gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Gangguan proses pematangan susunan saraf pada anak dapat terjadi pada saat dalam kandungan sampai dengan masa pertumbuhan anak di luar kandungan. Pada umumnya kerusakan pada CP terjadi pada cortek cerebri, ganglia basalis, dan cerebellum. Kerusakan jaringan otak tersebut bersifat non progresif dan mengganggu perkembangan otak normal dengan gambaran klinis dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis.
Layanan kesehatan pada anak perlu dilakukan sedini mungkin pada setiap tahapan yang dilalui anak sejak di dalam kandungan sampai dengan anak tumbuh dan berkembang, sehingga dapat dilakukan deteksi sedini mungkin apabila terjadi gangguan pada tahap-tahap tersebut. Sangat penting untuk memperhatikan hal-hal yang mempengaruhi tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan sampai dengan pada awal masa kanak-kanak, mengingat bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan negara.
Kejadian CP di eropa ( 1950 ) sebanyak 2,5 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan di Skandinavia sebanyak 1,2 – 1,5 per 1000 kelahiran hidup. Girloy memeproleh 5 dari 1000 anak memperlihatkan deficit motorok yang sesuai dengan CP, 50 % termasuk ringan, 10 % termasuk berat. Yang dimaksudkan ringan adalah penderita yang dapat mengurus dirinya sendiri, sedangkan yang tergolong berat adalah penderita yang memerlukan perawatan khusus, 25 % mempunyai intelegensi rata-rata ( normal ), sedang 30 % kasus menunjukan IQ dibawah 70, 35 % disertai kejang.
American Academy for Cerebral palsy mengemukakan klasifikasi gambaran klinis CP sebagai berikut: klasifkasi neuromotorik yaitu, spastic, atetosis, rigiditas, ataxia, tremor dan mixed. Klasifikasi distribusi topografi keterlibatan neuromotorik: diplegia, hemiplegia, triplegia dan quadriplegia yang pada masing-masing dengan tipe spastik (Sunusi dan Nara, 2007). Pada kasus CP spastik diplegia, anggota gerak bawah tidak berfungsi maksimal jika dibandingkan dengan anggota gerak atas.
Pada umumnya permasalahan pada kondisi CP spastik diplegi adalah terajadi peningkatan tonus otot-otot postur karena adanya spastisitas yang kemudian akan mempengaruhi kontrol gerak. Adanya spastisitas akan berakibat pada gangguan postur, kontrol gerak, keseimbangan, dan koordinasi yang pada akhirnya akan mengganggu aktifitas fungsional anak penderita CP. Apabila keadaan tersebut tidak segera memperoleh penanganan yang tepat maka akan berpotensi terjadinya permasalahan baru, sehingga akan semakin memperburuk postur tubuh dan pola jalan yang benar.
Fisioterapi pada kasus CP berperan dalam memperbaiki postur, mobilitas postural, kontrol gerak, dan mengajarkan pola gerak yang benar. Cara yang digunakan yaitu dengan mengurangi spastisitas, memperbaiki pola jalan, dan mengajarkan pada anak gerakan-gerakan fungsional sehingga diharapkan anak mampu mandiri untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari. Hal ini telah ditunjukkan dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa latihan fungsional yang dilakukan secara rutin akan dapat meningkatkan kemampuan penderita CP [Wikipedia Project, 2007].
Demikian juga dengan penguluran yang dilakukan secara pasif akan dapat memanjangkan jaringan lunak sehingga menurunkan kekakuan atau spastisitas (Kisner dan Colby, 1996). Penguluran yang dilakukan secara pasif diharapkan dapat memberikan efek relaksasi pada grup otot yang mangalami spastisitas sehingga dapat meningkatkan mobilitas postural dan mengontrol gerakan abnormal yang timbul pada penderita CP.
Dari penjabaran di atas Karya Tulis Ilmiah ini mengambil judul Penatalaksanaan Terapi Latihan pada Cerebral Palsy Spastik Diplegi untuk mengetahui manfaat terapi latihan yang dapat memperbaiki postur, mengurangi spastisitas dan memperbaiki pola jalan sehingga penderita cerebral palsy (CP) dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada pada anak CP maka dapat dirumuskan sebagai berikut (1) apakah terapi latihan berupa mobilitas trunk dapat mengurangi spastisitas (abnormalitas tonus postural) dan memperbaiki keseimbangan pada kondisi CP spatik diplegi? (2) apakah streching (penguluran ) secar pasif dapat mencegah kontraktur pada kondisi CP spastik diplegi ? (3) apakah latihan berjalan dapat memperbaiki pola jalan dan meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional pada kondisi CP spastik diplegi ? (4) Apakah melalui terapi dengan permainan mampu memperbaiki kemampuaan motori kasar dan halus pada penderita CP spastik diplegi ?



C. Tujuan Penulisan
(1) Untuk mengetahui manfaat latihan mobilitas trunk dalam menurunkan spastisitas ( abnormalitas tonus postural ) dan memperbaiki keseimbangan pada kondisi CP spastik diplegi (2) untuk mengetahui manfaat streching dalam mencegah kontraktur pada kondisi CP diplegi spastik. ( 3 ) untuk mengetahui apakah latihan jalan dapat menigkatkan kemampuan fungsional pada kondisi CP diplegi spastik (4) untuk mengetahui apakah terpai permainan dapat memperbaiki kemampuan motorik kasar dan halus pada kondisi CP diplegi spastik.





































BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Pengertian CP diplegia spastik specifik
2. Neuro anatomi dan fisiologi otak
a. Neuro Anatomi
Otak merupakan bagian pertama dari sistem saraf pusat yang mengalami perubahan dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung (meningen) dan berada di dalam rongga tulang tengkorak (Chusid, 1990). Pada sub bab ini akan dijelasakan mengenai bagian-bagian dari susunan saraf otak yang berhubungan dengan permasalahan pada CP.
1. ) Korteks cerebri
Korteks cerebri merupakan bagian terluas dari otak yang menutup total hemisferium cerebri. Kedua hemisferium cerebri membentuk bagian otak yang terbesar, dipisahkan oleh fissura longitudinalis cerebri. Permukaan hemisferium cerebri berada di dorsalsteral, medial dan basal. Pada permukaan ini terdapat alur-alur atau parit-parit , yang dikenal sebagai fissura dan sulcus. Bagian otak yang terletak diantara alur-alur ini dinamakan konvolusi atau gyrus. Bagian-bagian cerebrum ( otak ) yang utama :
a. ) Lobus frontalis
Lobus frontalis meluas dari ujung frontal dan berakhir pada sulcus centralis dan disisi samping pada fissura lateralis. Area 4 merupakan daerah motorik yang utama. Area 6 merupakan sirkuit traktus extrapyramidalis. Area 8 berhubungan dengan pergerakan mata dan perubahan pupil. Area 9, 10, 11, dan 12 merupakan daerah asosiasi frontalis.
b. ) lobus parietalis
Lobus parietalis meluas dari sulcus centralis sampai fissura parieto-occipitalis dan ke lateral sampai setinggi fissura cerebri lateralis. Area 3, 1, dan 2 merupakandaerah sensorik postcentralis yang utama. Area 5 dan 7 adalah daerah asosiasi sensorik.
c. ) lobus occipitalis
lobus occipitalis merupakan lobus psterior yang berbentuk pyramid dan terletak dibelakang fissura parieto-occipitalis. Area 17 yaitu corteks striata, corteks visual yang utama. Area 18 dan 19 merupakan daerah asosiasi visual.
d. ) Lobus temporalis
bagian lobus temporalis dari hemisferium cerbri terletak dibawah fissura lateralis cerebri ( sylvii ) dan berjalan kebelakang sampai fissura parieto-occippitalis. Area 41 adalah daerah auditorius primer. Area 42 merupakan corteks auditoris sekunder atau asosiatif. Area 38, 40, 21, dan 22 adalah daerah asosiasi.
Penelitian yang dilakukan Fritsch dan Hitzig pada tahun 1870 mebuktikan bahwa perangsangan listrik pada korteks serebri akan menimbulkan gerakan anggota tubuh di sisi kontralateral. Sejak saat itu dapat dilakukan pemetaan somatotropik pada korteks serebri mengenai pola gerakan tertentu pada otot-otot wajah, tubuh, anggota gerak atas dan anggota gerak bawah. Pemetaan tersebut menghasilkan gambar suatu homunculus (manusia kecil) yang terbalik pada girus presentralis. Otot-otot wajah diproyeksikan pada girus presentralis bagian bawah. Di sebelah atasnya terletak daerah proyeksi dari otot-otot ekstremitas superior, sedangkan di sebelah atas daerah ini terletak proyeksi dari otot-otot tubuh. Daerah proyeksi otot-otot ekstremitas inferior dan genitalis berada di permukaan medial hemisfer serebri yaitu di girus parasentralis (Ngoerah, 1991). Seperti tercantum pada gambar 2.3.
2) Ganglia basalis
Ganglia basalis ialah massa substansia grisea yang terletak di dalam setiap hemispherium cerebri. Massa-massa tersebut adalah corpus striatum, nucleus amygdala dan claustrum. Nucleus caudatus dan nucleus lentiformis bersama fasiculus interna membentuk corpus striatum yang merupakan unsur penting dalam sistem extrapyramidal. Fungsi dari ganglia basalis adalah sebagai pusat koordinasi dan keseimbangan yang berhubungan dengan keseimbangan postur, gerakan otomatis (ayunan lengan saat berjalan) dan gerakan yang membutuhkan keterampilan. Ganglia basalis diduga mempunyai peran dalam perencanaan gerakan dan sinergi gerakan (Japardi, 2007).
3) Cerebellum
Cerebellum yang terletak pada fosa posterior tengkorak berada dibelakang pons dan medulla, dipisahkan dari cerebrum yang berada diatasnya oleh perluasan durameter, yaitu tentorium cerebelli.
Permukaan cerebellum mepunyai banyak sulcus dan alur, yang memberikan gambaran berlapis-lapis dan makin dipertegas oleh beberapa fisura yang dalam yang membagi cerebellum menjadi beberapa lobus. Cerebellum terdiri atas bagian medial yang kecil dan tidak berpasangan, yaitu vermis dan 2 massa lateral yang besar, yaitu hemispherium cerebelli (Chusid, 1990). Struktur interna cerrebelum ditandai oleh lapisan corteks dan massa interna substansia alba yang didalamnya terdapat sekelompok nukleus.
Fungsi cerebellum adalah sebagai pusat koordinasi untuk mempertahankan keseimbangan dan tonus otot. Cerebellum mrupakan bagian dari susunan saraf pusat yang diperlukan untuk mempertahankan postur dan keseimbangan untuk berjalan dan berlari (Japardi, 2007).


Gambar 2.1
Peta sektoral cortex cerebri (Chusid, 1990)






Gambar 2.2
Daerah-daerah cortex (Chusid, 1990)

















Gambar 2.3
Homunculus motorik (Chusid, 1990)






4). Traktus piramidalis
Traktus piramidalis adalah traktus yang melewati piramida medula oblongata (Ngoerah, 1991). Traktus piramidalis dibentuk oleh serabut-serabut frontospinalis dan serabut-serabut sentrospinalis (Ngoerah, 1991). Fungsi sistem piramidalis adalah sebagai pengatur kontrol gerak yang berhubungan dengan gerakan terampil dan motorik halus (gambar 2.4).
5) Traktus ekstrapiramidalis
Gambar 2.3
Homunculus motorik (Chusid, 1990)




Keterangan gambar 2.3 Homunculus motorik (Chusid, 1990)
1. Jari kaki
2. Pergelangan kaki
3. Lutut
4. Pinggul
5. Badan
6. Bahu
7. Siku
8. Pergelangan tangan
9. Tangan
10. Kelingking
11. Jari manis
12. Jari tengah
13. Telunjuk
14. Ibu jari
15. Leher
16. Alis
17. Kelopak mata dan bola mata
18. Wajah
19. Bibir vokalis
20. Salivasi
21. Lidah
22. Otot penelan
Neurofisiologi
Traktus ekstrapiramidalis dapat dianggap sebagai suatu sistem fungsional dengan 3 lapisan integrasi yaitu: cortical, striatal (basal ganglia) dan tegmental (mesencephalon). Daerah inhibisi dan fasilitas bulboreticularis menerima serabut-serabut dari daerah cortex cerebri, striatum dan cerebellum anterior. Fungsi utama dari sistem ekstrapiramidal berhubungan dengan gerakan yang berkaitan, pengaturan sikap tubuh dan integrasi otonom. Lesi pada setiap tingkat dalam sistem ekstrapiramidal dapat mengaburkan atau menghilangkan gerakan di bawah sadar dan menggantikannya dengan gerakan di luar sadar (Chusid, 1990).

Gambar 2.4
Traktus Piramidalis (Dust, 1996)
Keterangan gambar 2.4 Traktus Piramidalis (Dust, 1996)

1. Konvolusi sentral anterior
2. Dari area 8
3. Kauda nukleus kaudatus
4. Nukleus lentikularis
5. Kapsula interna
6. Kaput nukleus kaudatus
7. Traktus kortikomesensefalik
8. Traktus kortikonuklearis
9. Traktus kortikospinalis (piramidalis)
10. Piramida
11. Dekusasio piramidalis
12. Traktus kortikospinalis anterior (langsung)
13. Talamus
14. Mesensefalon
15. Traktus kortikopontin
16. Pedunkulus serebral
17. Pons
18. Medula oblongata
19. Traktus kortikospinalis lateral (menyilang)
20. Lempeng akhir motorik


Gambar 2.5
Traktus Extrapiramidalis (Dust, 1996)
Keterangan gambar 2.5 Traktus Ekstrapiramidalis ( Dust, 1996 )
1. Traktus parietotemporopontin
2. Traktus oksipitomesensefalik
3. Nukleus lentikularis
4. Nukleus pontis
5. Dari serebelum (nukleus fastigialis)
6. Formasio retikularis
7. Nucleus lateral nervus vestibularis
8. Potongan di bawah dekusasio piramidalis
9. Traktus rubrospinalis
10. Traktus olivospinalis
11. Traktus vestibulospinalis
12. Traktus kortikospinalis lateral
13. Traktus frontopontin
14. Traktus kortikospinalis dengan serat ekstra piramidalis
15. Talamus
16. Kaput nukleus kaudatus
17. Nukleus tegmental
18. Nuklei ruber
19. Substansia nigra
20. Traktus tegmentum sentralis Oliva inferior
21. Piramid
22. Traktus retikulospinalis
23. Traktus tektospinalis
24. Traktus kortikospinalis anterior





















b. Anatomi dan fisiologi peredaran darah otak
Circulus willisi pada dasar otak merupakan pokok anastomose pembuluh darah arteri yang penting di dalam jaringan otak apabila terjadi pemyumbatan salah satu pembuluh nadi utama. Dalam mencapai circulus willisi melalui arteri carrotis interna dan arteri vertebralis. Circulus willisi dibentuk oleh hubungan antara arteri carrotis interna, arteri basilaris, arteri cerebri anterior, arteri communicans anterior, arteri cerebri posterior dan arteri communicans posterior.
Pemberian darah ke korteks serebri terutama melalui cabang-cabang cortical dari arteri cerebri anterior, arteri cerebri media dan arteri cerebri posterior, yang mencapai korteks di dalam piamater. Permukaan lateral masing-masing hemispherium cerebri mendapatkan darah terutama dari arteri cerebri media. Permukaan medial dan inferior hemispherium cerebri diperdarahi oleh arteri cerebri anterior dan arteri cerebri posterior. Cerebellum diperdarahi oleh arteri-arteri cerebelli (arteri cerebelli superior, arteri cerebrlli anterior inferior, arteri cerebelli posterior inferior) (Chusid, 1990).
Arteri cerebri media, suatu cabang terminalis dari arteri carrotis interna, memasuki fissura lateralis cerebri dan membagi diri menjadi cabang-cabang kortikal yang memperdarahi lobus-lobus frontalis, temporalis, paraetalis dan occipitallis. Pembuluh-pembuluh nadi yang kecil, yaitu arteri lenticulo striata, timbul dari bagian basal arteri cerebri media unutk memperdarahi capsula interna dan struktur-struktur yang berdekatan.
Arteri cerebri anterior berjalan lebih medial dari pangkalnya pada arteri carotis interna, menuju kedalam fissura longitudinalis cerebri ke genu corpus collasum, dimana arteri ini berbelok ke posterior dekat dengan corpus collasum. Arteri cerebri anterior mengeluarka cabang-cabangnya ke lobus frontalis medius dan lobus parietalis, serta cortek yang berdekatan disepanjang permukaan lateral medial dri lobus-lobus ini.
Arteri cerebri posterior muncul dari arteri basillaris pada pembesaran rostral pontinus, lalu melengkung ke dorsal dikitar pedunculus cerebri serta mengirimkan cabang-cabangnya kepermukaan medial dan inferior dari lobus temporalis serta ke lobus occipitalis medius. Cabang-cabangnya meliputi arteri calcarina dan cabang-cabang yang menuju ke thalamus posterior serat subthalamus.
Arteri basilaris dibentuk dari persambungan antara arteri-arteri vertebralis. Arteri basilaris ini memperdarahi batang otak sebelah atas melalui cabang-cabang paramedius brevis, circumferentia brevis dan circumferentia longus.
Aliran darah vena dari otak terutama kedalam sinus-sinus durameter, suatu saluran pembuluh darah yan terdapat ke dalam struktur durameter yang liat.
Diperkirakan bahwa metabolisme otak menggunakan kira-kira 18 % dari total konsumsi oksigen oleh tubuh. Sebagian besar oksigen dipakai untuk proses oksidasi glukosa,dan didalam otak metabolisme karbohidrat merupakan sumber tenaga yang utama. Pada manusia, pada suatu saaat mungkin otak mengandung kira-kira 7 ml total oksigen, yang dengan kecepatan pemakaian yang normal akan habis kira-kira dalam waktu 10 detik. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika masa hidup jaringan SSP yang menghadapi kekurangan oksigen yang cukup singkat kebutuhan otak sangat mendesak dan vital, sehingga aliran darah yang konstan harus terus dipertahankan ( Chusid, 1990).













Gambar 3
Sirkuit willisi ( Jack, 1996 )
Keterangan gambar :



















2. ) Cerebral palsy
a. ) Definisi
CP merupakan kerusakan otak atau kegagalan perkembangan otak selama didalam kandungan ( uterus ) atau pada awal pertumbuhan anak, kerusakan bersifat non progresif ( tidak berlanjut ) dan terjadi pada otak yang belum matang. Sehingga mengganggu proses pematangan otak yang normal ( Weinstein dan Trap, 1972 ).
Menurut Eicher dan Batshaw (1993) CP didefinisikan merupakan suatu payung terminologi yang digunakan unutk mendeskripsikan sekumpulan gannguan non progeresif dengan manifestasi berupa abnormalitas tonus dan gannguan postur yang merupakan akibat dari kerusakan susunan saraf pusat pada saat awal dimasa perkembangan otak.
Dalam definisi Ilmu Kesehatan Anak menjelaskan tentang CP yaitu suatu keadaan kerusakan jaringan otak yang kekal dan bersifat non progresif, terjadi pada waktu masih muda ( sejak dilahirkan ) dan merintangi perkembangan otak normal dengan gambaran klinis dapat berubah selama hidup dan menunjukkan kelainan dalam sikap dan pergerakan, disertai kelainan neurologis berupa kelumpuhan spastis, gangguan ganglia basalis dan cerrebellum, dan kelainan mental.CP adalah gangguan atau kelainan yang terjadi pada suatu kurun waktu dalam perkembangan anak, mengenai sel-sel motorik didalam susunan saraf pusat, bersifat kronik, dan tidak progresif akibat kelainan atau cacat pada jarinagn otak yang belum selesai pertumbuhannya.
Menurut Shepherd (1995) CP didefinisikan sebagai sekumpulan kelainan otak non progresif yang menyebabkan lesi atau perkembangan yang abnormal pada kehidupan janin atau awal masa anak-anak. Miller dan Bachrach (1998) mendefinisikan CP sebagai sekumpulan gangguan motorik yang diakibatkan dari kerusakan pada otak yang terjadi sebelum, selama dan sesudah kelahiran. Kerusakan otak pada anak mempengaruhi sistem motorik dan akibatnya anak tersebut mempunyai koordinasi yang lemah, keseimbangan yang lemah, pola gerak yang abnormal atau gabungan dari karakteristik tersebut.
Dalam kamus kedokteran dorlan (2005) definisi CP yaitu setiap kelompok gangguan motorik yang menetap, tidak progresif, yang terjadi pada anak kecil yang disebabkan oleh kerusakan otak akibat trauma lahir atau patologi intra uterine. Gangguan ini ditandai dengan perkembangan motorik yang abnormal atau terlambat, seperti paraplegia spastik, hemiplegia atau tetraplegia, yang sering disertai dengan retardasi mental, kejang atau ataksia.
Definisi spastik menurut kamus kedokteran Dorlan (2005) adalah bersifat atau ditandai dengan spasme. Hipertonik, dengan demikian otot-otot kaku dan gerakan kaku.
Diplegi adalah paralisis yang menyertai kedua sisi tubuh, paralisis bilateral (Dorlan, 2005). Diplegia merupakan salah satu bentuk CP yang utamanya mengenai kedua belah kaki (Dorlan, 2005)
Klasifikasi dari CP yaitu (1) spastik, merupakan gangguan pada UMN dengan tanda hiperrefleksia, bentuk gerak yang abnormal, kelemahan, (2) athetoid, merupakan tanda lesi ekstrapiramidal, ditandai adanya gerak involunter ( athetosis, dystonia, ataksia dan rigid ), (3) Ataksia, merupakan lesi dari cerebellum, ditandai dengan adanya gangguan keseimbangan dan kooordinasi, (4) mixed, merupakan kombinasi dari spastis, athetoid dan ataksia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa CP Spastik Diplegia adalah suatu gangguan tumbuh kembang motorik anak yang disebabkan karena adanya kerusakan pada otak yang terjadi pada periode sebelum, selama dan sesudah kelahiran yang ditandai dengan kelemahan pada anggota gerak bawah yang lebih berat daripada anggota gerak atas, dengan karakteristik tonus postural otot yang tinggi terutama pada regio trunk bagian bawah menuju ekstremitas bawah. Pada CP spastik diplegia kadang-kadang disertai dengan retardasi mental, kejang dan gambaran ataksia.
b. ) Etiologi
Pada umumnya penyebab CP dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu ;
1. ) Pranatal
Biasanya terjadi akibat infeksi dalam kandungan sehingga menyebabkan kelainan pada janin seperti toksoplasmosis, rubella, lues, dan penyakit inklusi sitomegalik. Selain itu juga oleh karena anoksia dalam kandungan, terkena sinar radiasi sinar- X dan keracunan kehamilan.
2. ) Perinatal
Pada masa ini meliputi ;
a. ) Hipoksia ( anoksia )
Penyebab yang terbanyak ditemukan dalam masa masa perinatal adalah brain injury (cedera pada otak ). Keadan inilah yang menyebabkan anoksia. Hal ini dapat terjadi pada presentasi bayi abnormal, disporposi sefalo-pelvis, partus lama, plasenta praevia, partus dengan menggunakan instrumen tertentu dan lahir dengan sectio caesar.
b. ) Perdarahan otak
Perdarahan dan anoksia dapat terjadi bersama-sama, sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernapasan dan peredaran darah sehingga terjadi anoksia. Perdarahan yang terjadi diruang subarakhnoid akan menyebabkan penyumbatan cairan cerebrospinal sehingga mengakibatkan hidrocepallus. Perdarahan diruang subdural dapat menekan cortek cerebri sehingga timbul kelumpuhan spastis.
c. ) Prematuritas
Bayi yang lahir dengan usia kandungan yang belum cukup bulan mempunyai kemungkinan menderita perdarahan otak lebih banyak dibandingkan bayi cukup bulan, hal ini karena pembuluh darah, enzim, dan faktor pembekuan darah masih belum sempurna.
d. ) Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak akibat masuknya billirubin ke ganglia basalis, misalnya pada kelainan inkompatibilitas golongan darah dan faktor Rh.
e. ) Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi apabila terlambat atau tidak tepat penangananya akan mengakibatkan gejala sisa berupa CP.

3. ) Pascanatal
Setiap kerusakan pada jaringan otak yang mengganggu perkembangan dapat menyebabkan CP. Misalnya pada trauma capitis, menigitis, ensefalitis dan luka parut pada otak pasca-operasi, bayi dengan berat badan rendah.
c. ) Patologi
Kelainan neuropatologis terjadi tergantung dari berat ringannya kerusakan. Jadi kelainan neuropatologis terjadi sangat kompleks dan difus yang dapat mengenai korteks motorik, traktus piramidalis, daerah paraventrikular ganglia basalis, batang otak dan ceebellum.
Anoksia cerebri sering merupakan komplikasi perdarahan intraventrikuler dan subependim. Asfiksia perinatal sering berkombinasi dengan ischemia yang bisa menyebabkab necrosis.
Kern icterus secara klinis memberikan gambaran kuning pada seluruh tubuh dan akan menempati ganglia basalis, hipocampus, sel-sel nukleus batang otak, dapat mnenyebabkan CP tipe athetoid, gangguan pendengaran dan mental retardasi.
Infeksi otak dapat mengakibatkan perlengketan meningen, sehingga terjadi obsturksi ruangan subarachnoid dan timbul hidrocepalus. Perdarahan dalam otak dapat meninggalkan rongga yang berhubungan dengan ventrikel.
Trauma lahir akan menimbulkan kompressi cerebral atau perobekan sekunder. Trauma lahir menimbulkan gejala yang irreversibel. Lesi irreversibel lainnya akibat trauma adalah terjadi sikatriks pada sel-sel hipocampus yaitu pada ammonis, yang bisa mengakibatkan timbulnya epilepsi.
d. ) Tanda dan gejala klinik
Gambaran klinik CP tergantung dari bagian dan luasnya jaringan otak yang mengalami kerusakan, semisal paralisis, gerakan involunter, dan ataksia.
Pada kondisi CP diplegia spastik yaitu keadaan dimana anggota gerak bawah tidak berfungsi maksimal dibandingkan dengan anggota gerak atas akibat adanya spastisitas yang terjadi pada anggota gerak bawah ( kedua tungkai bawah) . Adanya spastisitas menyebabkan kontrol gerak yang tidak terkendali sehingga mempengaruhi postur tubuh dan keseimbangan. Dengan demikian dapat mengganggu aktifitas fungsional anak penderita CP.
e. ) Prognosis
Prognosis tergantung pada gejala dan tipe CP. Di inggris dan Skandinavia 20 – 50 % pasien dengan CP mampu sebagai buruh kerja penuh, sebanyak 30 – 35 % dari semua pasien CP dengan retardasi mental memerlukan perawatan khusus. Prognosis paling baik pada derajat fungsional ringan. Prognosis bertambah berat apabila disertai dengan retardasi mental, kejang, gangguan penglihatan dan pendengaran. Pengamatan jangka panjang yang dilakukan Cooper dkk seperti dikutip oleh Suwirno T menyebutkan ada tendensi perbaikan fungsi koordinasi dan motorik dengan bertambahnya umur pasien CP yang memperoleh rehabilitasi baik.




B. Deskripsi Problematik Fisioterapi
1. ) Permasalahan Utama ( impairment )
Adanya abnormalitas tonus postural ( spastisitas ) menyebabkan kontrol gerak yang tidak terkendali sehingga mempengaruhi postur tubuh. Apabila tidak segera ditangani maka akan terjadi permasalahan lain berupa deformitas yaitu kontrakur otot, kekakuan sendi, skoliosis.
2. ) Keterbatasan Fungsional ( functional limitation )
Akibat adanya postur tubuh yang jelek dan kontrol gerak yang tidak terkendali maka akan mempengaruhi aktifitas fungsional sehari-hari yaitu makan, memakai baju, mandi, bermain.
3. ) Keterbatasan berpartisipasi dalam masyarakat
Dengan terbatasnya aktifitas sehari-hari maka anak penderita CP tersebut akan terbatas aktifitas di luar rumah seperti bergaul dengan anak-anak atau orang-yang tinggal di dekat tempat tinggalnya.









C. Tekhnologi Intervensi Fisioterapi
Teknologi intervensi fisioterapi yang digunakan untuk menangani permasalahan yang ada pada kondisi CP spastik diplegi meliputi latihan pada mobilitas trunk, stretching pasif dan latihan gerak aktif dengan pendekatan terapi dengan permainan serta latihan berjalan.
1. ) Mobilisasi trunk.
Latihan mobilitas trunk merupakan latihan yang diberikan baik pasif maupun aktif ke seluruh luas gerak tubuh ( fleksi, ekstensi, side fleksi dan rotasi trunk) dengan tujuan untuk memperbaiki co-contraksi otot-otot trunk dan untuk memperoleh fleksibilitas dari trunk yang diharapkan dapat memperbaiki postur pada kondisi CP diplegi spastik yang cenderung kifosis. Pada akhir gerakan pasif dapat disertai dengan pemberian stretching ( penugluran jaringan ) dan elongasi (pemanjangan trunk ke arah atas).
2. ) Stretching
Streching merupakan suatu bentuk terapi yang di susun untuk mengulur struktur jaringan lunak yang mengalami pemendekan secara patologis dan dengan dosis tertentu dapat menambah range of motion. Passive stretching dilakukan ketika pasien dalam keadaan rileks, menggunakan gaya dari luar, dilakukan secara manual atau dengan bantuan alat untuk menambah panjang jaringan yang memendek (Kisner & Colby, 1996). Diharapkan dengan rileks tersebut dapat mengurangi spastisitas pada ekstrimitas bawah khususnya kedua tungkai.


3. )Latihan gerak aktif dengan pendekatan terapi dengan permainan
Selain berguna untuk mengembangkan potensi anak, bermain juga menjadi media terapi yang baik bagi anak-anak yag bermasalah. Bermainm merupakan media yang baik dan sebagai stimulasi anak dengan gangguan perkembangan. Pada CP bermain dapat melatih ketrampilan motorik halus dan kasarnya. Dalam bermain anak CP diberikan keleluasaan gerak untuk mengikuti permainan.
4. Latihan pola jalan ( aktifitas fungsional )
Latihan pola jalan dilakukan dengan tujuan mengajarkan pola jalan yang benar pada anak sehingga anak dapat berjalan dengan pola yang baik dan benar. Pada akhirnya dapat melatih kemandirian anak dalam melakukan aktifitas fungsional.











BAB III

RENCANA PELAKSANAAN STUDI KASUS


A. Rencana Pengkajian Fisioterapi


Rencana pengkajian fisioterapi (assessment) sangat penting dalam proses fisioterapi karena dengan cara ini fisioterapi mampu mengidentifikasi masalah yang ada. Kemudian hasil dari identifikasi ini akan menjadi dasar untuk menentukan rencana atau program fisioterapi, mengevaluasi perkembangan penderita cerebral palsy dan dengan assessment pula akan diketahui metode yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi penderita cerebral palsy. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan yaitu (1) kesan umum pasien, (2) tonus otot postural, (3) pertumbuhan dan perkembangan anak, (4) kemampuan fungsional anak, (5) masalah primer dan sekunder yang dihadapi anak, (6) deformitas. Langkah-langkah pemeriksaan yang akan dilakukan sebagai berikut :

1. Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara tanya jawab dengan pasien ( autoanamnesis ) atau dengan orang lain paling dekat dengan pasien ( heteroanamnesis ) tentang keadaan pasien.




Anamnesis terdiri dari atas :
a. Anamnesis umum
Anamnesis ini meliputi (1) identitas pasien (nama,jenis kelamin, usia, alamat) (2) riwayat kelahiran (kelahiran normal, caesar atau dengan bantuan alat ), (3) riwayat penyakit sekarang.
b. Keluhan utama
Meliputi permasalahan yang saat ini dihadapi oleh anak semisal anak tidak mampu berjalan dengan normal atau berjalan dengan alat bantu, ataupun tidak mampu melakukan aktiftasnya sehari-hari semisal bermain.
c. Riwayat keluarga
Meliputi keterangan mengenai adanya anggota keluaraga dengan riwayat cerebral palsy.
2.Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Vital sign
Pemeriksan vital sign meliputi :
(1) tekanan darah
Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter. Pengukuran tekanan darah dilakukan sebelum, selam dan sesudah dilakukan intervenís fisioterapi. Jira pasien anak-anak maka menggunakan manset anak-anak, jira pasien dewasa maka menggunakan manset dewasa.


(2) nadi
Pemeriksaan nadi diukur pada arteri radialis dengan menggunakan tiga jari secara palpasi. Pemeriksan nadi juga dapat dilakukan pada arteria femoralis, arteria dorslis pedis, arteria temporal dan lain-lain.
(3) Suhu tubuh
Pemeriksaan suhu tubuh dilakukan secara manual unutk mengetahui apakah pasien sedang demam atau tidak. Hal ini unutk mengetahui apakah terapi bisa dilakukan atau tidak.
(4 ) Tinggi badan
Pengukuran tinggi badan dilakukan dengan pita ukur.
(5) Berat badan
Pengukuran berat badan dilakukan dengan timbangan berat badan.
b. Inspeksi
Inspeksi dilakukan dengan tujuan mengetahui keadaan pasien secara umum.. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat dan mengamati pasien. Inspeksi terdiri atas (1) inspeksi statis, disini pasien tidak melekukan aktifitas dan terapis mengamati pasien ketika duduk, berbaring ditempat tidur dan berdiri. Hal hal yang menjadi perhatian adalah ekspresi wajah, apakah ada oedem pada anggota gerak dan apakah pasien cenderung muncul pada pola snergis, (2) inspeksi dinamis, pada pemeriksan ini yang perlu diperhatikan adalah gerak gerik yang mampu dilakukan pasien terutama perubahan posisi dan bagaiman pasien melakukannya.

c. Palpasi
Pemeriksaan ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui kualitas tonus otot, kekuatan otot, ada tidaknya spasme, kontraktur otot, dan atropy otot.
d. Auskultasi
Auskultasi bertujuan untuk mengetahui adanya kelainan pada paru atau jantung. Pemeriksaan ini dengan menggunakan stetoskop.
3. Pemeriksaan gerak dasar
a. Gerak Aktif
Merupakan pemeriksaan gerak dimana pasien diminta melakukan gerakan secara mandiri atau tanpa bantuan. Dari pemeriksaaan ini akan diketahui : kemampuan penderita untuk melakukan gerak aktif, kordinasi geraknya, ada tidaknya nyeri gerak, LGS aktif.
b. Gerak Pasif
Merupakan pemeriksaan gerak dimana gerakan pasien dibantu oleh terapis. Dari pemeriksaan ini dapat diketahui : LGS pasif, ada tidaknya spastisitas, ada tidaknya kontraktur otot.
6. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksan spesifik meliputi pemeriksaaan ligkup gerak sendi ( LGS), pemeriksaan tonus otot untuk mengetahui tingkat spastisitas menggunakan skala asworth, pemeriksaan reaksi otomatis, pemeriksaan reflek patologis, pemeriksaan deformitas, pemeriksaan intrapersonal dan interpersonal, dan pemeriksaan aktifitas fungsional.

a. ) Pemeriksaan LGS
Pemeriksaaan LGS dilakukan pada sendi bahu, siku, pergelangan tangan, panggul lutut, pergelangan kaki. Alat ukur yang digunakan goniometer.
b. ) Pemeriksaan tonus otot
Pemeriksaan tous otot dengan menggunakan skala asworth, dimana peningkatan tonus otot dapat dinilai sebagai berikut :

Nilai Keterangan
0 Tidak ada peningkatan tonus otot
1 Ada peningkatan sedikit tonus otot, ditandai denagan terasanya tahanan minimal ( catch and release ) pada akhirt ROM pada waktu sendi digerakkan fleksi atau ekstensi.
2 Ada penigkatan sedikit tonus otot, ditandai dengan adanya pemberhentian gerakan ( catch ) dan diikuti dengan adanya tahanan minimal sepanjang sisa ROM, tetapi secara umum sendi tetap mudah digerakkan.
3 Peningkatan tonus otot lebih nyata sepanjang sebagian besar ROM, tetapi sendi masih mudah digerakkan.
4 Peningkatan tonus otot sangat nyata, gerak pasif sulit dilakukan.
5 Sendi atau ekstrimitas kaku ( rigid ) pada geraka fleksi atau ekstensi.

Sumber : Bobath Center of London


c. ) Pemeriksaan reaksi otomatis
Pada pemeriksaan ini akan diperoleh penurunan atau hilangnya reaksi-reaksi otomatis antara lain:
(1) Reaksi tegak (Righting reaction) dengan cara anak diposisikan duduk kemudian trunk digerakkan ke belakang, ke samping dan ke depan maka anak akan mempertahankan posisi kepala tetap tegak.
(2) Reaksi keseimbangan (Equilibrium Reaction) dilakukan pada saat duduk, berdiri dan berjalan. Reaksi keseimbangan duduk dengan cara: anak diposisikan duduk bersila maupun W sit kemudian secara perlahan-lahan dilepas, reaksi ini baik bila penderita mampu mempertahankan keseimbangan. Reaksi keseimbangan berdiri dengan cara: anak diposisikan berdiri di atas lantai, terapis berada di belakang anak, kemudian terapis melihat ada tidaknya reaksi pada kedua kaki untuk berdiri. Reaksi keseimbangan berjalan dengan cara: anak diposisikan berdiri di atas lantai, terapis berada di belakang anak, kemudian terapis menginstruksikan anak untuk berjalan, terapis mengamati ada atau tidaknya reaksi pada kedua tungkai untuk melangkah.
(3) Reaksi ekstensi protektif (Protective Reaction) dengan cara anak diposisikan duduk kemudian di dorong ke salah satu sisi, dilihat apakah lengan bereaksi mempertahankan badan dengan ekstensi lengan.



d. ) Pemeriksaan reflek patologis
Pemeriksaan disesuaikan dengan usia anak. Secara fisiologis beberapa reflek yang terdapat pada bayi seharusnya tidak dijumpai lagi pada anak yang sudah besar. Namun bila reflek-reflek ini masih ada, hal ini menunjukkan adanya kemunduran fungsi susunan saraf. Teknik untuk menimbulkan reflek dengan memposisikan reflek yang akan diperiksa, yaitu: (1) babynski, cara anak diposisikan tidur terlentang, gores pada bagian lateral telapak kaki, positif jika timbul gerakan ekstensi jari-jari diikuti abduksi jari-jari kaki, (2) morro reflex, dengan cara anak diposisikam tidur terlentang dan diberi tekanan pada kepalanya secara mendadak. Reflek ini akan hilang pada usia anak 4 bulan, (3) grasp reflek, dengan cara permukaan palmar tangan diberi stimulasi, reaksi positif tangan akan menggenggam, (4) asimetrical tonic neck reflex, dengan cara posisikan anak terlentang, kepala mid position, ekstensi lengan dan tungkai kemudian diberikan stimulasi dengan memutar kepala ke samping. Reaksi ini dikatakan positif bila penderita mengekstensikan lengan dan tungkai homolateral serta fleksi lengan dan tungkai heterolateral, (5) simetrical tonic neck reflex, dengan cara anak diposisikan terlentang kepala mid position, ekstensi lengan dan tungkai kemudian diberikan stimulasi dengan memfleksikan kepala, reaksi positif bila penderita memfleksikan lengan dan mengekstensikan tungkainya.






TABEL I: FORMULIR PEMERIKSAAN REFLEKS (The Bobath Centre London, 1994)

Usia (bulan)

Reflex) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Moro + + + +
Gallant + +
ATNR + + + +
Primary standing + +
Grasp:
a. tangan
b. kaki
+
+
+
+
+
+
+
+

+

+

+

+
Suckling + + +
Neck Righting + + + + + + + + + + +
Body Righting on Body + + + + + + + +
Labyrinthine Righting + + + + + + + + + + + + +
Landau + + + + + + + + +
Parachute
a. Downwards
b. Forwards
c. Sideways
d. Backwards
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Equilibrium Reaction
a. Supine
b. Prone.
c. Sitting
d. Quadripedal
e. See-saw reaction
f. Standing

+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan:
+ : Mulai muncul atau mulai menghilang
+ : Muncul






e. ) Pemeriksaan Deformitas
Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya permasalahan baru, semisal semakin usia anak penderita CP bertambah maka spastisitas bisas emakin menigkat, sehingga akan berakibat timbulnya deformitas seperti dislokasi sendi panggul dan kontraktur otot-otot ekstrimitas bawah. Deformitas lainnya yang timbul yaitu apabila penderita CP tidak ditangani secara maksimal maka bisa terjadi skoliosis akibat muskuloskeletal yang tidak bisa bergerak seimbang akibat perubahan postur.
f. ) Pemeriksaan Intrapersonal dan Interpersonal
Aspek yang dinilai adalah sejauh mana pasien dapat bekerjasama dengan terapis pada saat pelaksanaan terapi. Menolak atau tidaknya anak saat dilakukan terapi, semisal anak menangis atau senang.
g. ) Pemeriksaan Aktifitas Fungsional
Pemeriksaan aktifitas fungsional disesuaikan dengan kemampuan anak dan dilakukan untuk menilai seberapa besar tingkat kemandirian anak, apakah anak dapat melakukan aktifitas sehari-hari nya secara mandiri, dibantu sebagian atau sepenuhnya. Untuk melakukan pemeriksaan ini dapat digunakan Gross Motor Function Measurement (GMFM).
GMFM adalah suatu jenis pengukuran klinis untuk mengevaluasi perubahan fungsi gross motor pada penderita CP. Terdiri dari 88 item pemeriksaan, aktifitas pada posisi berbaring dan berguling (17 item), duduk (20 item), berlari dan melompat (12 item).
Penilaian GMFM terdiri dari 4 skor yaitu 0, 1, 2 dan 3 yang masing-masing mepunyai arti yang sama meskipun deskripsinya berbeda tergantung item kemampuan yang dinilai. Keterangan nilai GMFM, sebagai berikut: 0: tidak memiliki inisiatif; 1: ada inisiatif; 2: sebagian dilengkapi; 3: dilengkapi; NT: Not Tested (tidak di tes).


















Lampiran 2

Tabel penilaian pemeriksaan dan evaluasi GMFM

A. Dimensi terlentang dan tengkurap

No Item yang dinilai T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
1 Terlentang, kepala pada garis tengah tubuh, rotasi kepala dengan ekstremitas simetris
2 Terlentang, menyatukan jari-jari kedua tangan dibawa pada garis tengah tubuh
3 Terlentang, mengangkat kepala 45º.
4 Terlentang, fleksi hip dan knee kiri full ROM
5 Terlentang, fleksi hip dan knee kanan full ROM
6 Terlentang, meraih dengan lengan kiri, tangan menyilang garis tengah tubuhmenyentuh mainan
7 Terlentang, meraih dengan lengan kanan, tangan menyilang garis tengah tubuh menyentuh mainan
8 Terlentang, berguling ke tengkurap melalui sisi kiri tubuh
9 Terlentang, berguling ke tengkurap melelui sisi kanan tubuh
10 Tengkurap, mengangkat kepala keatas.
11 Tengkurap, menghadap kedepan, mengangkat kepala dengan lengan lurus
12 Tengkurap, menghadap kedepan, tumpuan berat badan pada kaki kiri, lengan yang berlawanan diangkat kedepan
13 Tengkurap, menghadap ke depan, tumpuan berat badan pada kaki kanan, lengan yang berlawanan diangkat ke depan
14 Tengkurap, berguling terlentang melalui sisi kiri tubuh
15 Tengkurap, berguling terlentang melalui sisi kanan tubuh
16 Tengkurap, berputar 90º ke kiri menggunakan ekstremitas
17 Tengkurap, berputar 90º ke kanan menggunakan ekstremitas
Total dimensi A














B. Dimensi duduk

No. Item yang dinilai T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
18 Terlentang, tangan ditarik terapis kearah duduk dengan kontrol kepala
19 Terlentang, berguling ke sisi kanan dibawa ke posisi duduk
20 Terlentang, berguling kesisi kiri dibawa ke posisi duduk
21 Duduk di matras, thorak disuport terapis, kepala lurus ditahan 3 detik
22 Duduk di matras, thorak disuport terapis, kepala lurus ditahan 10 detik
23 Duduk di matras, kedua lengan disangga, dipertahankan 5 detik
24 Duduk di matras, tangan bebas dan ditahan 3 detik
25 Duduk di matras, dengan di depannya dan badan condong kedepan
26 Duduk di matras dan menyentuh mainan yang berada 45°
27 Duduk di matras dan menyentuh mainan yang berada 45° dibelakang sisi kiri dan kenbali ke posisi awal
28 Duduk dengan pantat posisi kanan dan mempertahankan posisi dengan kedua lengan bebas selama 5 detik
29 Duduk dengan pantat posisi kiri dan mempertahankan posisi dengan kedua lengan bebas selama 5 detik
30 Duduk di matras kemudian menunduk keposisi tengkurap
31 Duduk di matras dengan kedua kaki berhadapan dan dapat mencapai 4 point lewat sisi kanan
32 Duduk di matras dengan kedua kaki berhadapan dan dapat mencapai 4 point lewat sisi kiri
33 Duduk di matras dan berputar 90° tanpa bantuan lengan
34 Duduk di bangku dan dapat menahan lengan dan kaki selama 10 detik
35 Berdiri lalu duduk diatas bangku kecil
36 Di lantai dan berusaha duduk di bangku kecil
37 Di lantai dan berusaha mencapai duduk di bangku besar
Total dimensi B






C. Dimensi merangkak dan berdiri dengan lutut

No Item yang dinilai T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
38 PR dan maju ke depan sejauh 18 m……..
39 4 POINT ; mempertahankan berat tangan dan lutut 10
detik ……………………….
40 4 POINT ; menuju posisi duduk dengan tangan bebas
41 PR ; bertahan 4 poin, berat pada tangan dan knee
42 4 POINT ; meraih ke depan dengan tangan kanan
meliputi lengan & shoulder
43 4 POINT ; meraih ke depan dengan tangan kiri meliputi
lengan & shoulder
44 4 POINT ; merangkak dan berusaha maju ke depan
45 4 POINT ; pengulangan merangkak ke depan
46 4 POINT ; merangkak diatas 4 langkah dengan tangan
& Knee/ kaki …………
47 4 POINT ; merangkak ke belakang dibawah 4 langkah
dgn tangan & knee..
48 Menuju keposisi tinggi menggunakan tangan, lalu
tahan dengan tangan bebas selama 10 detik
49 HIGH KN, menuju posisi ½ kneeling pada lutut kanan
menggunakan tangan, lalu tahan dengan tangan bebas
selama 10 detik
50 HIGH KN, menuju posisi ½ kneeling pada lutut kiri
menggunakan tangan, lalu tahan dengan tangan bebas
selama 10 detik
51 HIGH KN, berjalan kneeling maju 10 langkah, tangan
bebas ………………..
Total dimensi C





















D. Dimensi berdiri

No Item yang dinilai T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
52 Pada lantai, mendorong ke berdiri dengan kursi lebar
53 Berdiri dengan tangan bebas dan ditahan selama 3 detik
54 Berdiri bertahan pada kursi lebar dengan 1 tangan
memindahkan kaki kanan, 3 detik
55 Berdiri bertahan pada kursi lebar dengan 1 tangan
memindahkan kaki kiri , 3 detik……………..
56 Berdiri dengan tangan bebas dan bertahan selama 20
detik………………………………………
57 Berdiri memindahkan kaki kiri dan tangan bebas
selama 10 detik ………………………………..
58 Berdiri memindahkan kaki kanan dan tangan bebas
selama 10 detik ………………………….
59 Duduk pada bangku kecil, menuju ke berdiri tanpa
memakai tangan …………………………
60 HIGH KN; menuju keposisi duduk melalui ½ kneeling
pada lutut kanan tanpa menggunakan tangan
61 HIGH KN; menuju keposisi duduk melalui ½ kneeling
pada lutut kiri tanpa menggunakan tangan
62 Berdiri extremitas bawah berusaha duduk dilantai
dengan kontrol tangan bebas ………………….
63 Berdiri menuju squad, tangan bebas ………….
64 Berdiri mengambil objek dari lantai, tangan bebas, dan
kembali ke posisi berdiri …………..
Total dimensi D



















E. Dimensi berjalan, lari, dan melompat.
No Item yang dinilai T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
65 Berdiri, dua tangan berpegangan pada bangku besar,
jalan 5 langkah ke kiri ………………..
66 Berdiri, dua tangan berpegangan pada bangku besar,
jalan 5 langkah ke kanan………………..
67 Berdiri, dua tangan berpegangan pada terapis, berjalan
ke depan 10 langkah ………………..
68 Berdiri, satu tangan berpegangan pada terapis, berjalan
ke depan 10 langkah ………………..
69 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah………..
70 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah, berhenti
kemudian berputar 180º dan kembali ke tempat semula
71 Berdiri, berjalan ke belakang 10 langkah……..
72 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah, membawa objek
besar dengan dengan 2 tangan…………..
73 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah, diantara garis
pararel yang berjarak 20 cm antara 2 garisnya
74 Berdiri, berjalan ke depan 10 langkah pada garis 2 cm
75 Berdiri, step over stick at knee level, R food leading
76 Berdiri, step over stick at knee level, L food leading
77 Berdiri, berlari 4,5 m, berhenti dan kembali…..
78 Berdiri, menendang bola dengan kaki kiri……
79 Berdiri, menendang bola dengan kaki kanan…..
80 Berdiri, melompat 30 cm ke atas, kedua kaki diangkat
81 Berdiri, melompat 30 cm ke depan ……………..
82 Berdiri pada kaki kiri, hops on R food 10 times within
A 60 cm ………………………………..
83 Berdiri pada kaki kanan, hops on L food 10 times
within A 60 cm ………………………………..
84 Berdiri, holding 1 Rail Walks up 4 steps, holding 1 Rail
85 Berdiri, holding 1 Rail Walks down 4 steps, holding 1
Rail …………………………………..
86 Berdiri, berjalan ke depan 4 langkah dengan kaki
bergantian ……………………………………
87 Berdiri, berjalan ke belakang 4 langkah dengan kaki
bergantian ………………………………
88 Berdiri, pada langkah ke 15 melompat, kedua kaki
diangkat……………………………………
Total dimensi E






B. Problematik fisioterapi
Permasalahan pada CP yaitu adanya gangguan tonus postural tubuh akibat adanya spastisitas sehingga control gerak terganggu dan juga mengakibatkan postur tubuh yang salah. Dari permasalahan yang telah disebutkan pada akhirnya akan mengganggu aktifitas fungsional sehari-hari anak penderita CP.

C. Rencana penatalaksanaan Fisioterapi
1 .) Tujuan pelaksanaan terapi latihan
a. Untuk menurunkan abnormalitas tonus ( spastisitas ) terutama pada kedua tungkai bawah.
b. Mencegah terjadinya kontraktur sehingga mencegah deformitas.
c. Memperbaiki kemampuan aktifitas fungsional melalui peningkatan pada keseimbangan dan memperbaiki postur tubuh sehingga diharapkan bertambahnya tingkat kemandirian anak dengan kasus cerebral palsy dalam melakukan aktifitas sehari-harinya semisak bermain.



2. ) Rencana pelaksanaan fisioterapi
a. ) Latihan mobilisasi trunk
Tujuan dari latihan mobilitas trunk ini adalah untuk memperbaiki postur yaitu dengan cara mendudukkan pasiel long sittig dan kedua tungkai membuka lebar ( abduksi tanpa eksternal rotasi ). Fisioterapis dibelakang pasien, tangan menempel bahu kemudian diberikan pressure tapping pada segmen lumbal, thorak atas dan bawah.
b. ) Streching secara pasif
Streching atau penguluran jaringan lunak ini merupakan cara yang digunakan untuk menurunkan spastisitas sehingga bias merileksasikan kerja otot-otot yang berlebihan ( over use ). Pada kondisi CP diplegi spastis biasanya dilakukan stretching pada group otot (1) hamstring (2) adductor lutut (3) abductor lutut (4) otot perut (5) illiopsoas dan (6) pelvic tilting.
c. ) Latihan gerak aktif dengan menggunakan permainan
Latihan ini diberikan dengan melibatkan anak secara aktif. Pada pendekatan ini anak akan diberikan bentuk-bentuk latihan aktifitas fungsional yang akan dilakukan bersamaan dengan bermain untuk tujuan meningkatkan aktivitas fungsional, seperti latihan berdiri dan berjalan.

d. ) Latihan aktifitas fugsional dengan mengajarkan pola jalan yang benar.
Anak akan diajari berjalan dengan pola yang benar, karena pada umumnya anak CP akan berjalan dengan pola salah akibat dipengaruhi adanya spastisitas. Seperti yang telah disebutkan bahwa spastisitas akan mengganggu kenormalan postur tubuh dan control gerak. Padahal pada pola jalan yang benar dibutuhkan postur tubuh yang baik dan control gerak yang baik pula.



D. Rencana Evaluasi Hasil Terapi

Evaluasi dilakukan untuk mngetahui tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan terapi yang diberikan. Evaluasi dilakukan sesaat setelah terapi dan pada akhir pelaksanaan program terapi. Beberapa pengukuran yang dilakukan meliputi : 1.) evaluasi spastisitas dengan menggunakan skala asworth, 2 ) evalusi gross motor, keseimbangan dan kemampuan berjalan ( aktifitas fungsional ) dengan menggunakan GMFM.


READ MORE - PENATALAKSANAAN TERAPI LATIHAN PADA CEREBRAL PALSY DIPLEGIA SPASTIK

Popular Posts