Tuesday, February 3, 2009

Kesehatan Jiwa Menjadi Prioritas Global di Indonesia

Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara, dimana proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa. Kesehatan Jiwa Menjadi Prioritas Global di Indonesia


16 Oct 2008
Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara, dimana proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari jika mereka mungkin mengalami masalah kesehatan jiwa.
Demikian disampaikan Sekretaris Jenderal Departemen Kesehatan RI, dr. H. Syafii Ahmad, MPH saat membuka seminar sehari dalam rangka Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) Tahun 2008 di kantor Depkes, hari ini. HKJS diperingati setiap tanggal 10 Oktober, tahun ini merupakan peringatan ke-15 sejak tahun 1993. Hadir dalam acara ini para Pejabat Eselon I, II di lingkup Depkes RI, Perwakilan WHO Indonesia, LSM, pejabat lintas sektor, tokoh masyarakat, anggota Dharma Wanita, dan PKK.
Lebih lanjut dikatakan dr. Sjafii Ahmad, masalah kesehatan jiwa sangat mempengaruhi produktifitas dan kualitas kesehatan perorangan maupun masyarakat yang tidak mungkin ditanggulangi oleh sektor kesehatan saja. Mutu SDM tidak dapat diperbaiki hanya dengan pemberian gizi seimbang namun juga perlu memperhatikan 3 aspek dasar yaitu fisik/jasmani (organo biologis), mental-emosional/jiwa (psikoedukatif), dan sosial-budaya/lingkungan (sosiokultural).
Gangguan jiwa walaupun tidak langsung menyebabkan kematian, namun akan menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi individu dan beban berat bagi keluarga, baik mental maupun materi karena penderita menjadi kronis dan tidak lagi produktif.
Ganguan kesehatan jiwa, bukan hanya “psikotik” saja tetapi sangat luas mulai yang sangat ringan yang tidak memerlukan perawatan khusus seperti kecemasan dan depresi, ketagihan NAPZA, alkohol rokok, kepikunan pada orang tua, sampai kepada yang sangat berat seperti skizophrenia.
Hasil survey kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) tahun 1995 menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga dewasa di Indonesia yaitu 185 kasus per 1.000 penduduk. Hasil SKMRT juga menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk, sementara pada rentang usia 5 - 14 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk.
Kesehatan jiwa saat ini telah menjadi masalah kesehatan global bagi setiap negara termasuk di Indonesia, dimana proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberikan dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya pada masyrakat. Sementara tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai perubahan tersebut.
Kejadian-kejadian tersebut seluruhnya dilatarbelakangi oleh aspek-aspek kejiwaan seperti agresifitas, emosi yang tidak terkendali, ketidakmatangan kepribadian, depresi karena tekanan kehidupan, tingkat kecurigaan yang meningkat, dan persaingan yang tidak sehat.
Masalah-masalah gangguan kesehatan jiwa ini akan dibahas dalam seminar sehari. Menurut Ketua Panitia Seminar HKJS yang juga Direktur Bina Pelayanan Medik Jiwa, dr. H. M. Aminullah, Sp.KJ, MM, pertemuan ini betujuan untuk meningkatkan pemahaman peserta terhadap kesehatan jiwa yang ada di masyarakat.
Berkaitan dengan tema peringatan HKJS tahun 2008 Making Mental Health Global Priority: Scaling up Services Trough Citizen Advocacy and Action (Menjadikan Kesehatan Jiwa Melalui Advokasi dan Aksi Masyarakat), pada kesempatan tersebut, materi yang akan dibahas dalam seminar sehari ini adalah Kesehatan Jiwa di Indonesia Kemarin, Sekarang dan Akan Datang oleh dr. Albert Maramis, Sp. KJ., Kejenuhan dalam Bekerja Menurunkan Produktivitas oleh DR. dr. Fahmi Idris, M.Kes dan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak oleh Yenni Rosa Damayanti.
Selain seminar, Departemen Kesehatan juga melakukan berbagai kegiatan dalam peringatan HKJS, diantaranya penyebaran brosur tentang kesehatan jiwa dan gangguan jiwa yang mencakup sebab dan penanggulangannya, pameran, pemeriksaaan gratis berupa pemeriksaan derajat stress oleh Tim RS. Dr. Soeharto Herdjan, pemeriksaan gula darah dan kolesterol bekerjasama dengan Direktorat Penyakit Tidak Menular (PTM) dan RS. Marzoeki Mahdi Bogor, serta talk show di salah satu stasiun televisi.
Sementara itu, puncak peringatan HKJS akan dilaksanakan di Kantor Walikota Bogor tanggal 20 Oktober 2008, dengan mengangkat sub tema “Melalui Kesehatan Jiwa Kita Sehatkan Masyarakat Desa”.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-5223002 dan 52960661, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id


Penatalaksanaan Fase akut
Cedera Kepala
Dr. Budi Riyanto W.
UPF Mental Organik, Rumah Saki' Jiwa Bogor, Bogor
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu kasus yang paling
sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit. Suatu
rumah sakit yang melayani daerah yang berpenduduk sekitar
250.000 orang bisa menerima sampai 5.000 kasus cedera ke-
pala tiap tahun, ini merupakan 10% dari semua kasus yang
datang.
Kasus cedera kepala yang dirawat di bangsal saraf RS Cipto
Mangunkusumo selama tahun 19811982 adalah sebesar 1850
orang, 1642 orang (88,75%) di antaranya adalah akibat kecela-
kaan lalu lintas. Sedangkan kasus cedera kepala yang ke unit
gawat darurat RS Cipto Mangunkusumo pada tahun 1982 ada-
lah 4146 orang, 4056 dewasa dan 90 anak-anak. Di antara 1642
kasus yang dirawat tersebut 137 meninggal dunia.
Dengan makin banyaknya kendaraan di jalan-jalan dan
meningkatnya mobilitas penduduk, maka kasus cedera kepala
terutama akibat kecelakaan lalu lintas akan makin bertambah
pula. Di Amerilca pada tahun 1970 kecelakaan lalu-lintas telah
menduduki tempat keempat sebagai penyebab kematian yang
utama, bahkan nomor satu pada golongan usia 0-40 tahun.
Kasus cedera kepala mempunyai beberapa aspek khusus,
antara lain kemampuan regenerasi sel otak yang amat terbatas,
kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau menye-
babkan kecacatan, juga karena terutama mengenai pria dalam
usia produktif yang biasanya merupakan kepala keluarga.
DIAGNOSIS
A. Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan :
riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahi-
an hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan
yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar
mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan
gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-
kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh ke-
mudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu
sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi :
1.
Sifat kecelakaan.
2.
Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah
sakit.
3.
Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4.
Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran
sampai saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris--
tiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba
di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia
retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan
intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/
turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi
(kesadaran berubah).
B. Indikasi Perawatan
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila terdapat gejala
atau tanda sebagai berikut :
1.
Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2.
Fraktur tulang tengkorak.
3.
Terdapat defisit neurologik.
4.
Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-
anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.
5.
Adanya faktor sosial seperti :
a.
Kurangnyapengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b.
Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c.
Sulitnya transportasi ke rumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang hanis dipesan agar segera
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992
52

kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
1.
Mengantuk, sulit dibangunkan.
2.
Disorientasi, kacau.
3.
Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4.
Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur.
5.
Kejang, pingsan.
6.
Keluar darah/cairan dari hidung, telinga.
PENATALAKSANAAN
A. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi
vital dan status kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera
mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
1. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal ter-
penting yang dinilai ialah :
a.
Jalan nafas airway
b.
Pernafasan breathing
c.
Nadi clan tekanan darah cireulation
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir
atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring;
diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams ber-
hati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash
injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk.
Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa :
a.
Pernafasan Cheyne Stokes.
b.
Pernafasan Biot/hiperventilasi.
c.
Pernafasan ataksik.
yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga
adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain,
misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas.
Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan me-
lambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggi-
an tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut dise-
babkan oleh hematoma epidural.
2. Status kesadaran
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif, ter-
utama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan karena
subyektivitas pemeriksa; istilah apatik, somnolen, sopor, coma,
sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran
yang lebih obyektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan
penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran
yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara
ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat
digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini
pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu
dapat diikuti secara akurat (Gambar 1).
Skala Koma Glasgow (Tabel 1)
Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan penilaian/pe-
meriksaan atas tiga parameter, yaitu :
a.
Buka mata.
b.
Respon motorik terbaik.
c.
Respon verbal terbaik.
Gambar 1. Crank Skala Koma Glasgow
Tabel 1. Skala Koma Glasgow
3. Status Neurologik Lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada
kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya
tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan
fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial.
Tanda fokal tersebut ialah :
a.
Anisokori.
b.
Paresis/parahisis.
c.
Reties patologik sesisi.
4. Hal-hal Lain
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 53

Selain cedera kepala, hams diperhatikan adanya kemung-
kinan cedera di tempat lain; trauma thorax, trauma abdomen,
fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan
dan dideteksi secepat mungkin.
B. Pemeriksaan Tambahan
Peranan foto R6 tengkorak banyak diperdebatkan man-
faatnya, meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara
rutin. Selain indikasi medik, foto R6 tengkorak dapat dilakukan
atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto RĂ´ tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan
pada keadaan :

Defisit neurologik fokal.

Liquorrhoe.

Dugaan trauma tembus/fraktur impresi.

Hematoma luas di daerah kepala.
Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi
tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path
dugaan fraktur basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan
fraktur tulang wajah. Perdarahan intrakranial dapat dideteksi
melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Sean kepala
yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan
tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit.
Selain indikasi tersebut di atas, CT Sean kepala dapat dilakukan
pada keadaan :

perburukan kesadaran.

dugaan fraktur basis cranii.

kejang.
PENGOBATAN
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan
darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila
perlu dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen.
Infus dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : guna-
kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline.
2. Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
a.
Hiperventilasi.
b.
Cairan hiperosmoler.
c.
Kortikosteroid.
d.
Barbiturat.
a.
Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan peO
2
darah sehingga men-
cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen
yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob,
sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO
2
dipertahankan > 100 mmHg dan paCO
2
di antara
2530 mmHg.
b.
Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus
untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intra-
vaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk
memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams diberikan
dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya
diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 1030 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu tindak-
an bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek
rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang)
setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
c.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaat-
nya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini
cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak/kurang ber-
manfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan
pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.
Dosis parenteral yang pernah dicoba juga bervariasi :
Dexametason pernah dicoba dengan dosis sampai 100 mg bolus
yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu juga Metilprednisolon
pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15 mg dan Triamsinolon
dengan dosis 6 dd 10 mg.
d.
Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme
otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan
oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah,
otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat
hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.
Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang
ketat.
e.
Cara lain
Pala 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai
15002000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.
Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur dengan
kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan tekanan
intrakranial.
Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada pasien yang
berbaring lama, ialah :

kepala dan leher diangkat 30°.

sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°.

telapak kaki diganjal, membentuk sudut 90° dengan tungkai
bawah
(Gambar 2).
Gambar 2. PosisI tidur yang dianjurkan
3. Obat-obat Nootropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu
mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk
pada keadaan koma.
a. Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin B
6
)
yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan memper-
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992
54

baiki struktur serta fungsi membran sel.
Pada fase akut diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari
lewat infus. Tidak dianjurkan pemberian intravena karena sifat-
nya asam sehingga mengiritasi vena.
b.
Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu neuro-
transmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12 gram/
hari intravena.
c.
Citicholine
Disebut sebagai koenzim pembentukan lecithin di otak.
Lecithin sendiri diperlukan untuk sintesis membran sel dan
neurotransmitter di dalam otak. Diberikan dalam dosis 10Q-
500 mg/hari intravena.
4. Hal-hal lain
Perawatan luka dan pencegahan dekubitus harus mulai di-
perhatikan sejak dini; tidak jarang pasien trauma kepala juga
menderita luka lecet/luka robek di bagian tubuh lainnya. Anti-
biotika diberikan bila terdapat luka terbuka yang luas, trauma
tembus kepala, fraktur tengkorak yang antara lain dapat me-
nyebabkan liquorrhoe. Luka lecet dan jahitan kulit hanya
memerlukan perawatan lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma
kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Per-
darahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang,
atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat
parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis
awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan
250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi-
kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv
diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan ka-
rena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi
pernapasan.
PENUTUP
Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang akan
makin bertambah besar. Penanganan fase akut yang tepat dapat
memperbesar kemungkinan hidup pasien dan mencegah ke-
cacadan di kemudian hari. Di samping penanganan dan peng-
awasan fungsi vital, pemantauan tingkat kesadaran dan
kemungkinan komplikasi lainnya amat penting. Pengobatan
terutama ditujukan untuk mengurangi edema otak dan
mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
KEPUSTAKAAN
1.
Bullock R, Teasdale G. Head Injuries I. BMJ 1990; 300: 15158.
2.
Bullock R, Teasdale G. Head Injuries II. BMJ 1990; 300: 1576-9.
3.
Encephabol. monograf, Merek. 1986.
4.
Jennet B, Teasdale G. Management of Head Injuries. Philadelphia : FA
Davis Co. 1981.
5.
Marti Mardiono dkk. Penanggulangan akut penderita dengan cedera ke-
pala. Dalam : Berbagai aspek ceders kepala akibat kecelakaan lalu-lintas.
Andradi S., Wahyadi D., Soetarto PD. (eds), 1983. Hal: 47-66.
6.
Nedergaard M. Mechanism of brain damage in focal cerebral isehemia
Acta Neurol Seand (Feb) 1988; 77(2): 81101.
7.
Nicholin. monograf, 1984.
8.
Nootropil. monograf, UCB. 1980.
9.
Price DI. Head Injuries. Dalam : Care of the Critically Ill Patient. Tinker.
J, Rapin. M (eds). Berlin, Heidelberg, New York : Springer Verlag. 1983.
10.
Soemargo S, Harahap RP. Beberapa data Epidemologik Klinik penderita
cedera kepala di Bagian Saraf RSEM. Dalam : Berbagai aspek ceders
kepala akibat kecelakaan lalu lintas. Andradi S., Wahyadi D., Soetarto PD
(eds) 1983. hal 16-46.
If you master the difficult, you will be asked to perform the
Impossible
Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992 55

Gait Analysis
Is the study of a persons style of walking. This includes descriptive and quantitive analysis of measurable parameters and clinical interpretation.

Gait Analysis - Simplified!


Basic anatomical terms
The anatomical terms describing the relationships between different parts of the body are based on the anatomical position in which a person is standing upright, with the feet together and the arms by the sides of the body, with the palms forward. This position, together with the reference planes are the terms describing relationships between different parts of the body.
Six terms are used to describe directions, with relations to the centre of the body. These are:
• anterior
• posterior
• superior
• inferior
• left
• right
Within a single part of the body additional terms are used to describe relationships:
• Medial means towards the midline of the body: the big toe is on the medial side of the foot.
• Lateral means away from the midline of the body: the little toe is on the lateral side of the foot.
• Proximal means towards the rest of the body: the hip is the proximal part of the lower limb.
• Distal means away from the rest of the body: the toes are the distal part of the foot.
• Superficial structures are close to the surface.
• Deep structures are far from the surface.
The motion of the limbs is described using reference planes:
1. A sagittal plane is any plane which divides part of the body into right and left portions; the median plane is the midline sagittal plane, which divides the whole body into right and left halves.
2. A frontal or coronal plane longitudinally divides a body part.
3. A transverse plane divides a body part into upper and lower portions.
Most joints can only move in one or two of these three planes. The possible movements are:
1. Flexion and extension take place in the sagittal plane; in the ankle these movements are called dorsiflexion and plantarflexion, respectively.
2. Abduction and adduction take place in the transverse plane.
3. Inversion and Eversion take place in the frontal plane.
Other terms which are also used to describe the motions of the joints or body segments;
1. Varus and valgus, which describe and angulation of a joint towards and away from the midline, respectively; knock knees are in valgus, bow legs are in varus.
2. Inversion of the feet brings the soles together; eversion causes the soles to point away from the midline.
3. Pronation and supination, are triplaner rotations.
Terminology in the foot can be confusing. The term pronation is used for a combined movement, which consists primarily of eversion but also includes some dorsiflexion and forefoot abduction. Similarly, supination is primarily inversion, but also includes some plantarflexion and forefoot, adduction relative to the hindfoot.
Bones
Almost every bone in the body takes part in walking and running.
The pelvis is formed from the sacrum, the coccyx and the two innominate bones. The sacrum consists of the five sacral vertebrae, fused together. The coccyx is the vestigial 'tail', made of three to five rudimentary vertebrae.
The innominate bone on each side is formed by the fusion of three bones - the ilium, ischium and pubis. The only real movement between the bones of the pelvis occurs at the sacroiliac joint, and this movement is generally very small. It is thus reasonable, for the purpose of gait analysis, to regard the pelvis as being a single rigid structure. The superior surface of the sacrum articulates with the fifth lumbar vertebra of the spine. On each side of the lower part of the pelvis is the acetabulum, which is the proximal part of the hip joint.
The femur is the longest bone in the body. The spherical femoral head articulates with the pelvic acetabulum to form the hip joint. The neck of the femur runs downwards and laterally from the femoral head to meet the shaft of the bone, which continues downwards to the knee joint. At the junction of the neck and the shaft are two bony protuberances, where a number of muscles are inserted - the greater trochanter laterally, which can be felt beneath the skin, and the lesser torchanter medially. The bone widens at its lower end to form the medial and lateral condyles. These form the proximal part of the knee joint and have a groove between them anteriorly which articulates with the patella.
The patella or kneecap is a sesamoid bone. That is to say, it is embedded within a tendon - in this case the massive quadriceps tendon, which beyond the patella is known as the patella tendon. The anterior surface of the patella is subcutaneous (immediately below the skin); its posterior surface articulates with the anterior surface of the lower end of the femur to form the patellofemoral joint. It has an important mechanical function which is to displace the quadriceps tendon forwards and thereby to improve its leverage.
The tibia extends from the knee joint to the ankle joint. Its upper end is broadened into medial and lateral condyles with an almost flat upper surface which articulates with the femur. The tibial tubercle is a small bony prominence on the front of the tibia, when the patella tendon is inserted. The anterior surface of the tibia is subcutaneous. The lower end of the tibia forms the upper and medial surfaces of the ankle joint with a subcutaneous medial projection called the medial malleolus.
The fibula is next to the tibia on its lateral side. For most of its length it is a fairly slim bone although it is broadened at both ends, the upper end being known as the head. The broadened lower end forms the lateral part of the ankle joint with a subcutaneous lateral projection known as the lateral malleolus. The tibia and fibula are in contact with each other at their upper and lower ends, as the tibiofibula joints. Movements at these joints are very small. A layer of fibrous tissue known as the interosseous membrane is between the bones.
The foot is a very complicated structure which is best thought of as being in three parts:
1. The rearfoot or hindfoot, which consists of two bones, one on tope of the other.
2. The midfoot, which consists of five bones, packed closely together.
3. The forefoot, which consists of the five metatarsals and the toes.
The talus (or astragalus) is the upper of the two bones in the rearfoot. Its superior surface forms the ankle joint, articulating above and medially with the tibia, and laterally with the fibula. Below, the talus articulates with the calcaneus through the subtalar joint. It articulates anteriorly with the most medial and superior of the midfoot bones - the navicular.
The calcaneus or os calcis lies below the talus and articulates with it through the subtalar joint. Its lower surface transmits the body weight to the ground through a thick layer of fat, fibrous tissue and skin. The anterior surface articulates with the most lateral and inferior of the midfoot bones - the cuboid.
The midfoot consists on five bones:
1. The navicular, which is medial and superior.
2. The cuboid, which is lateral and inferior.
3. Three cuneiform bones (medial, intermediate and lateral), which are in a row distal to the navicular.
The forefoot consists of the following:
The five metatarsals lie roughly parallel to each other, the lateral two articulating with the cuboid, and the medial three with the three cuneiform bones. The phalanges are the bones of the toes; there are two in the big toe and three in each of the other toes. The big toe is also called the great toe or hallux.






RENCANA PEMBANGUNAN KESEHATAN MENUJU INDONESIA SEHAT 2010
Tujuan nasional bangsa Indonesia seperti yang termaktuf dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut diselenggarakan pembangunan nasional secara berencana, meyeluruh, terpadu, terarah, dan berkesinambungan. Adapun tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkam masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Untuk tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut dibutuhkan antara lain tersedianya sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas. Data UNDP tahun 1997 mencatat bahwa Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih menempati urutan ke 106 dari 176 negara. Tingkat pendidikan, pendapatan serta kesehatan penduduk Indonesia memang belum memuaskan.
Menyadari bahwa tercapainya tujuan pembangunan nasional merupakan kehendak dari seluruh rakyat Indonesia, dan dalam rangka menghadapi makin ketatnya persaingan bebas pada era globalisasi, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan. Dalam hal ini peranan keberhasilan pembangunan kesehatan sangat menentukan. Penduduk yang sehat bukan saja akan menunjang keberhasilan program pendidikan, tetapi jiga mendorong peningkatan produktivitas dan pendapatan penduduk.
Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan melibatkan semua sektor terkait, pemerintah, swasta dan masayarakat. Keberhasilan pembangunan kesehatan tidak hanya ditentukan oleh kinerja sektor kesehatan semata, melainkan sangat dipengaruhi olehinteraksi yang dinamis dari pelbagai sektor. Upaya untuk menjadikan pembangunan nasional berwawasan kesehatan sebagai salah satu misi serta strategi yang baru harus dapat dijadikan komitmen semua pihak, disamping menggeser paradigma pembangunan kesehatan yang lama menjadi Paradigma Sehat.
Penyusunan rencana pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 ini adalah manifestasi konkrit dari kehendak untuk melaksanakan pembangunan nasional berwawasan kesehatan dan paradigma sehat tersebut.

Gait Analysis
Gait analysis offers a unique means to measure the mechanical factors of joint loading, orientation, and neuromuscular function during activities of daily living such as walking. The core technology for this analysis is the motion capture system. In the figure to the right, optoelectronic cameras are used to measure the three-dimensional location of targets fastened to the lower limb.
By tracking targets on each limb segment of the lower limb, joint angles at the knee hip and ankle can be measured.
An instrmented force platform is used to measure the magnitude, direction, and location of the ground reaction force. Two force platforms (one under each foot) can be seen in the figure.
Combining the ground reaction forces, with the limb segment motion data provides the basis for calculating joint loading (net reaction moments and forces). These data are used to quantify the gait pattern.

Gait Cycle
Walking is a cyclic process; therefore, the relevant information can be captured during one complete gait cycle, which is the time between successive foot contacts of the same limb.

More Info
• Gait analysis (Wikipedia)
• Motion analysis theory (Kwon3D)

( Fully trained at the Asics Biomechanics Academy, the UK’s leading footwear supplier. )


How we think we are running and how we actually are running are sometimes two very different things. The use of high tech video analysis is no longer reserved just for professional athletes!




We will determine your foot type by assessing the structure of the foot including shape, width, volume and arch height. We then analyse the gait cycle that is unique to each runner by observing the biomechanics of the foot in motion.

We can view and analyse motions at the joints at speeds up to 60 frames per second, 3600 frames in a 2-step gait cycle. There are three stages of the gait cycle. Heel strike, mid-stance, and toe off. It is impossible to see with the naked eye what is exactly happening to the foot and ankle at each of these phases of gait.



With video gait analysis we can clearly see what is happening at each of these phases and measure imbalances. After analyzing your gait we will go over your tape with you, and point out problems that can be corrected with orthotics. We are able to look for gait imbalances, limited range of motion problems, and muscle insufficiencies from all sides to help you with your treatment. We can measure angles at your feet, ankles, knees and hips at all phases of your gait.

The next stage is to have a semi weight-bearing cast of your feet made. These along with your examination results will be made into a custom-made pair of running orthotics. These special insoles go inside your running shoes and help to cure your running injury by correcting any biomechanical dysfunction and making your running as efficient as possible.


Runners, especially, can benefit from video gait analysis by evaluating muscle strength, gait disturbances, shoe choices, and overall training. The one aspect that a runner can control the most is biomechanics. Though it is probably the easiest aspect in running to address, biomechanics is probably the most forgotten link in the improvement chain. Understanding biomechanics is, for most runners, the most neglected and confusing subject in running.





Questions







What is a gait analysis?
A gait analysis involves videotaping you while you walk and/or run to measure excessive or atypical movement patterns. Videotaping is done from the front, side, and rear to obtain a complete view of how you walk and run (your gait mechanics). The information from this is combined with your assessment to provide a comprehensive analysis of your walking and running mechanics.
I've had this injury for several years now. Can you really help?
Absolutely! Many chronic or recurrent injuries are the result of muscle imbalances, muscle weakness, and poor running and walking mechanics. This service is designed to give you a comprehensive analysis of all these factors and provide solutions.
I have pain while doing other sports (soccer, hockey, biking). Can this help me?
Most people have pain while doing other sports. It is also known that daily walking and/or running can aggravate these injuries. This service can help you overcome injuries by identifying how your muscle imbalances, structural differences, and gait mechanics are all related.
I keep getting the same injury over and over. How come?

Many times the way you walk and run is related to muscle weakness and structural imbalances. Injuries commonly reoccur because most people are unaware that the way the walk or run is directly related to these clinical factors.

Can I keep running while I'm injured?

You should significantly reduce your mileage while your injured. However, by correcting the way you run, you can rehabilitate from your injuries much quicker while continuing to run.





No comments:

Post a Comment

Popular Posts