Tuesday, March 24, 2009

Abses Leher Dalam sebagai Komplikasi Infeksi Odontogenic

Sutji Pratiwi Rahardjo
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNHAS

Abstrak. Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang potensial, di antara fasia leher sebagai
akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, sinus paranasali, telinga tengah, leher, dan lain-lain.
Infeksi biasanya dimulai dari jaringan lunak leher yang meluas ke ruang-ruang potensial . Apeks gigi molar rahang
bawah sangat erat hubungannya dengan m. mylohyoideus sehingga bila terjadi abses dentoalveolar, mudah
menembus ruang submaksilar dan menyebar secara perkontinuitatum ke ruang-ruang lain. Komplikasi yang paling
tinggi mortalitasnya pada penyakit ini adalah mediastinitis. Kami melaporkan 2 kasus abses leher dalam yang
berasal dari komplikasi infeksi odontogenic. Kasus pertama adalah angina Ludwig yang berasal dari infeksi gigi
4.8. Kasus kedua adalah masticatory abscess yang berasal dari infeksi gigi 4.8. Pada kasus 1 dan 2, pasien
datang dengan trismus, disfagia, febris dan tanpa obstruksi jalan napas. Pada pasien dilakukan drainase abses
dan pemberian antibiotik parenteral sesuai kultur dan sensitivitas. Hasil terapi baik, maka pasien melakukan ekstraksi
gigi untuk menghilangkan fokus infeksi setelah rawat jalan.
Kata kunci: abses leher dalam, angina Ludwig, masticatory abscess

Pendahuluan
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam
ruang potensial di antara fasia leher sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, sinus
paranasal, telinga tengah, leher, dan lainnya. Tergantung
ruang mana yang terlibat, gejala dan tanda klinis setempat
berupa nyeri dan pembengkakan akan menunjukkan lokasi
infeksi.1,2
Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka
kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) kasus
abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun
demikian, abses leher dalam tetap merupakan salah satu
kasus kegawatan di bidang THT. Keterlambatan dalam
diagnosis dan pemberian terapi yang tidak adekuat dapat
mengakibatkan komplikasi yang dapat membahayakan
jiwa, seperti mediastinitis, dengan angka mortalitas sebesar
40%.2,3 Karena itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman
anatomi yang baik tentang fasia dan ruang potensial serta
faktor penyebab dari abses leher dalam agar dapat
memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan
penatalaksanaan yang adekuat

Etiologi
Sebelum ditemukannya antibiotik, 70% dari kasus abses
leher dalam disebabkan oleh penyebaran dari infeksi yang
berasal dari faring dan tonsil. Setelah ditemukannya
antibiotik, infeksi gigi merupakan sumber infeksi paling
banyak yang dapat menyebabkan abses leher dalam.
Kebersihan gigi yang kurang dan penyalahgunaan obat
intravena bisa menjadi faktor penyebab tersering pada orang
dewasa.2,5
Penyebab infeksi leher dalam sebagai berikut:2
_ Infeksi pada faring dan tonsil
_ Infeksi atau abses dental
_ Prosedur bedah mulut atau pengangkatan kawat gigi
_ Infeksi atau obstruksi glandula saliva
_ Trauma kavum oris dan faring
_ Pemeriksaan, terutama esofagoskopi atau bronkoskopi
_ Aspirasi benda asing
_ Limfadenitis servikal
_ Anomali celah brakial
_ Kista ductus tyroglossalis
_ Tiroiditis
_ Mastoiditis dengan petrositis dan Bezold’s abscess
_ Penggunaan obat intravena
_ Nekrosis dan supurasi masa atau limfonodus servikalis
maligna

Berbagai jenis organisme ditemukan pada abses leher
dalam. Kebanyakan abses mengandung flora bakteri
campuran. Pada suatu penelitian, rata-rata ditemukan lebih
dari 5 spesies yang diisolasi pada satu kasus.2,5,6
Streptococcus, terutama hemolytic, dan staphylococcus
adalah patogen aerob yang sering ditemukan. Isolat aerob
yang lain adalah bakteri Diptheroid, Neisseria, Klebsiella, dan
Haemophillus.2
Kebanyakan abses odontogenic melibatkan patogen
anaerob misalnya spesies Bacteroides, terutama Bacteroides
melaninogenicus, dan Peptostreptococcus.

Kasus
Kasus Pertama
Pasien laki-laki, 35 tahun, dengan keluhan utama terdapat
pembengkakan di bawah dagu yang terasa hangat dan keras,
susah makan terutama makanan padat, tetapi masih dapat
minum. Sembilan hari sebelumnya penderita mengeluh
sakit pada gigi geraham kiri bawah, lalu berobat di
Puskesmas namun tidak ada perubahan. Pasien merasa ada
cairan nanah yang merembes keluar melalui akar giginya
yang rusak. Dua hari sebelum masuk RS penderita tidak
dapat membuka mulut dan disertai suhu badan yang agak
tinggi, sakit kepala namun sesak belum ada.

Pemeriksaan Fisis:
Keadaan umum: sedikit lemah/gizi cukup/ sadar. Tanda
vital: tekanan darah (TD):120/80 mm Hg, nadi (N): 100x/
mnt, suhu (S): 38,5oC, pernapasan (P): 28x/mnt. Terlihat
trismus ± 2 cm, hipersalivasi. Melalui celah di antara gigi
tampak sisa gangren radiks pada M3 kiri bawah. Sesak
belum dirasakan oleh penderita.

Pemeriksaan THT
Inspeksi: fluktuasi di bawah leher, batas tidak jelas, saat di
palpasi kesan seperti papan, teraba panas, tetapi tidak nyeri.
Telinga: telinga kanan dan kiri tidak ada kelainan. Hidung:
konka nasalis dan septum nasi kesan normal. Tenggorok:
tidak dapat dinilai karena trismus ± 2 cm.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium:
Hb:13g/dL, lekosit: 20x103/mm3, eritrosit: 4.48x106/mm3,
trombosit: 247x103/mm3, GDS: 229 mg/dL, ureum: 90.7 u/
L, kreatinin: 1,47 u/L, SGOT: 78.3 u/L, SGPT: 52.7 u/L
Radiologi: foto toraks: kesan normal. Foto servikal AP dan
lateral: soft tissue swelling dengan gambaran lusen di
dalamnya. Di daerah prefaringal dan parafaringal disertai
dengan kompresi pada ke-2 sisi trakea terutama sisi kiri,
sesuai dengan gambaran abses prefaringal dan parafaringal.

Diagnosis kerja: angina Ludwig
Penatalaksanaan:
IVFD RL: Dextrose 5% 1:1.28 tts/mnt
Clindamycin 3x300 mg p.o
Metronidazole 500 mg/12 jam/IV drips
Dexamethasone 1 ampul/8 jam/IV
Novalgin 1 ampul/8 jam/IV
Pasang NGT, diet bubur saring (TKTP per sonde)
Awasi jalan nafas dan tanda-tanda vital (T,N,S,P)
Konsul bagian gigi, mulut dan bagian interna
Perawatan hari ke-1
Tanda vital: T: 120/70 mmHg, N: 88x/mnt, S: 38°C, P: 20x/
mnt. Keadaan umum: sedikit lemah. Trismus ± 2 cm,
odinofagi (+), febris ada, disfagia (+) (makanan padat)
Edema pada daerah submental dan submandibula, fluktuasi
(+), sesak (-).

Penatalaksanaan :
o IVFD RL: dextrose 5% 1; 1.28 tetes/mnt.
o Clindamycin 3x300mg (per sonde)
o Dexamethasone 1 amp/8 jam/IV
o Novalgin 1 amp/8 jam/IV
o Diet bubur saring TKTP (per sonde)
o Dilakukan pungsi dan aspirasi di daerah submental,
kesan pus disertai darah kurang lebih 50 cc
o Kultur dan sensitivitas tes
o Jawaban konsul bagian Gigi dan Mulut: setuju dilakukan
ekstraksi sisa akar gigi M3 kiri bawah, jika trismus
berkurang
o Jawaban konsul Penyakit Dalam: terdapat gangguan
fungsi ginjal mungkin disebabkan oleh intake cairan
tidak adekuat. Usul: rehidrasi (keseimbangan cairan),
kontrol ulang ureum dan kreatinin beberapa hari
kemudian, periksa GDP, TTGO.

Perawatan hari ke-8:
Keadaan umum:
Membaik.
Tanda vital: T: 120/70 mmHg, N: 88x/mnt, S: 37,3oC,
20x/mnt
Trismus ± 3 cm, odinofagi (±), disfagia mulai berkurang,
pus sisa sedikit pada drain. Ganti obat oral yaitu:
Clindamycin 3x300 mg, dexametazone 3x1 tablet, mefenamat
acid 3x500 mg, ekstraksi gigi.
Kasus Kedua:
Pasien laki-laki, 28 tahun, dengan keluhan utama terdapat
pembengkakan daerah pipi sebelah kiri ± 7 hari sebelum
masuk RS. Dua hari sebelum masuk RS, penderita
dapat membuka mulut, disertai sakit bila menelan. Demam,
sakit kepala, tetapi tidak ada sesak
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum : sakit sedang/ gizi baik/ sadar. Tanda
T: 110/60 mmHg, N: 72x/mnt, S: 36.5°C, P: 20x/ mnt, terlihat
trismus ± 1 cm, hipersalivasi. Tampak sisa akar gigi M2
M3 rahang bawah kiri. Tidak terdapat adanya sesak.
Pemeriksaan THT
Inspeksi: benjolan di pipi sebelah kiri mulai daerah zygoma
ke bawah sampai di daerah submental dan angulus
mandibula kiri. Palpasi: nyeri tekan (+), fluktuasi (+).
Telinga: telinga kanan dan kiri tidak ada kelainan. Hidung:
konka nasalis dan septum nasi kesan normal. Tenggorok:
tidak dapat dinilai karena trismus ± 2 cm.
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium: Hb:16g/dL, leukosit 21.1x103/mm3, GDS: 95
mg/dL, ureum 34 mg/dL, kreatinin 1.7 mg/dL, SGOT 17
u/L, SGPT 15 u/L.
Radiologi:
Foto toraks: dalam batas normal, foto servikal AP/ lateral:
tidak ada kelainan radiologik.

Diagnosis kerja: masticatory abscess sinistra
Penatalaksanaan:
IVFD RL: Dextrosa 5% 1:1 28 tetes/mnt. Ampicillin 1 gr/8
jam/IV (skin test). Metronidazole 500 mg/12 jam/IV/drip.
Novalgin 1 amp/8 jam/IV. Dexamethasone 1 amp/8 jam/IV.
Konsul bagian Gigi dan Mulut

Perawatan hari I
Keadaan umum: sakit sedang/gizi cukup/sadar. Tanda
vital: T: 110/60 mmHg, N : 72x/mnt, S : 36.5oC ,P : 20 x/
mnt. Terlihat trismus ± 1 cm, bengkak pada pipi sebelah
kiri. Dilakukan insisi dan drainase ± 1 cm di bawah angulus
mandibula kiri, kesan pus warna kuning kehijauan, foetor
(+). Kultur dan sensitivitas. Jawaban konsul Gigi dan Mulut:
ekstraksi gigi dilakukan setelah trismus berkurang.
Perawatan hari ke-9
Keadaan umum: sakit sedang/gizi cukup/sadar.
Tanda vital: T: 110/60 mmHg, N: 72x/mnt, S: 36.5oC, P: 20
x/mnt.
Trismus membaik ± 3 cm, bengkak pada pipi sebelah kiri
sudah tidak ada. Odinofagi tidak ada.
Penatalaksanaan: ganti dengan obat oral yaitu:
chloramphenicol 3x500 mg, dexamethasone 2x1 tablet, Na
diclofenac 2x50 mg, ekstraksi gigi dan pasien dipulangkan.

Pembahasan
Kasus pertama merupakan kasus angina Ludwig yang
mengenai beberapa ruang leher dalam yaitu ruang
submental, submandibular, ruang visera anterior dengan
sumber infeksi berasal dari gigi molar rahang bawah.
Penjalaran penyakit diawali dengan sakit gigi kemudian
diikuti pembengkakan di dagu. Penyebaran infeksi yang
berlanjut ke submental dan submandibula tanpa diketahui
ruang mana yang terkena lebih dahulu. Sedangkan kasus
kedua merupakan kasus masticatory abscess.
Menurut Boss-Sorvino, et al., faktor penyebab infeksi
odontogenic dan periodontal merupakan 75-90% dari seluruh
kasus. Adanya trismus dan letak anatomi yang berdekatan
antara apeks radiks gigi, ruang submandibular dan
masticatory menunjukkan kemungkinan adanya penyebaran
infeksi dari gigi.10 Trismus dapat juga terjadi akibat iritasi
pada m. masseter dan tendon m. pterygoideus internus yang
terdapat di ruang masticatory. Dari ruang masticatory, infeksi
dapat dengan mudah menyebar ke ruang parafaring, oleh
karena parafaring terletak di anterolateral dari ruang
masticatory.
Pertimbangan pertama pada pasien dengan angina
Ludwig adalah kontrol jalan napas. Edema lidah dan mulut,
serta adanya trismus adalah halangan untuk melakukan
intubasi oral. Trakeostomi dipertimbangkan bila ada tandatanda
sumbatan jalan napas.8 Pada kedua kasus ini tidak
ditemukan adanya hambatan jalan nafas. Pada kasus
pertama, pus yang terdapat di ruang sublingual dapat di
drainase dengan baik melalui fistula intraoral (sisa akar gigi
yang mengeluarkan pus). Gambaran foto servikal AP dan
lateral, tampak bahwa selain abses di submental, juga
terdapat abses di parafaringal yang menekan trakea.
Hubungan anatomi antara masing-masing ruang potensial
adalah sebagai berikut kasus kedua, pasien datang dengan
pembengkakan pada pipi kiri. Setelah dilakukan insisi dan
drainase pada daerah angulus mandibula, keluar pus warna
kuning kehijauan. Keadaan umum penderita menjadi lebih
baik, setelah eksplorasi dan pemberian antibiotik yang
sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.2

Daftar Pustaka
1. Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga-Hidung-Tenggorok. Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2000.p.184-8
2. Driscoll BP, Scott B, Stiernberg C. Deep neck space infection.
In: Bailey, ed. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2nd ed.
Vol 1. Philadelphia New York:Lippincott-Raven; 2002.p.819-35
3. Lee Kj. Neck spaces and fascial planes. In: Essential
Otolryngology Head & Neck Surgery. 8th ed. New York:McGraw-
Hill.p.422-37
4. Ballenger JJ. Snow JB. Ruang-ruang fasia. Dalam: Staf Ahli
Bagian THT RSCM-FKUI, ed. Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. 13th edition. Jakarta:Bina Rupa
Aksara;1996.p.295-303
5. Marcincuk MC. Deep neck infections. Available from: http://
www. emedicine.com/ specialties/ otolaryngology and Facial
Plastic Surgery
6. Jimenez Y, et al. Odontogenic infections complications. Systemic
manifestations. In: Med Oral Patol Oral Cir Bucal 2004; 9 Suppl:SJ
39-47
7. Beck HJ. Salassa JR. McCaffrey T, et al. Life-threatening soft tissue
infections of the neck. Laryngoscope 1984; 94: 54-62
8. Bross-Soriano D, et al. Management of ludwig’s angina with small
neck incisions: 18 years experience. Otolaryngol Head Neck Surg
2004; 130:712-7
9. Levine T et al. Mediastinitis occurring as a complication of
odontogenic infections. Laryngoscope 986; 96:747-9
10. Zainuddin H, dkk. Abses mastikator. Kumpulan Naskah Ilmiah
Konggres Nasional VIII. PERHATI; 1986.p.649-54

1 comment:

Popular Posts