Monday, November 28, 2011

Konsep nyeri


Menurut Internasional Association for the Study of Pain (IASP), nyeri digambarkan sebagai "suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut" ( Hartwig, and Wilson, 2006). Definisi ini menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus); definisi ini juga menekankan bahwa nyeri bersifat subyektif dan merupakan suatu sensasi sekaligus emosi. (Marjono, dan Sidharta, 2000), mengolongkan nyeri sebagai gangguan sensorik positif, dimana
perangsangan yang menghasilkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi saraf pengantar impuls nyeri (serabut nyeri). Jaringan itu dinamakan secara singkat sebagai jaringan peka nyeri.  Jaringan atau bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bila dirangsang. Nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan yang menyadarkan seseorang untuk mengambil /membuat tanggap rangsang yang memadai guna mencegah kerusakan lebih lanjut, (Parjoto, 2006).
Nyeri merupakan  pengalaman yang sangat pribadi dan bersifat subyektif, karena bentuk nyeri maupun intensitas atau kuatnya nyeri yang dikatakan oleh penderita adalah sebagaimana yang dirasakan oleh penderita yang bersangkutan (Maramis, 1996, dikutip oleh Parjoto, 2008). Pendapat ini sejalan dengan pendapat (Nicholson, 2000, dikutip oleh Parjoto, 2008) yang menyatakan bahwa nyeri merupakan suatu pengalaman yang bersiifat subyektif dan psikologik. Karena nyeri banyak dimensinya sehingga pengukuran tunggal tentang intensitas nyeri tidak akan menggambarkan secara adekuat perbedaan antara nyeri tusukan, sakit gigi dan terbakar. Nyeri bisa terjadi bila ada stimulus yang memenuhi syarat yang dimediasi atau difasilitasi oleh bahan kimiawi tertentu seperti leukotrin, prostaglandin, interleukin dan tromboksan  sehingga menimbulkan impuls nyeri atau impuls nosiseptif di nosiseptor yang dikenal sebagai proses transduksi yang kemudian ditransmisikan ke arah sentral melalui tanduk belakang medulla spinalis, batang otak, mesensefalon , korteks serebri dan korteks asosiasinya  untuk kemudian disadari baik  mengenai sifat  ,lokasi maupun  berat ringannya  (Kuntono, 2007, Widiastuti , 1996, Tan  dan Horn   1998, dikutip oleh Parjoto, 2008).
            Batasan dan pengertian nyeri yang sangat beragam menunjukkan bahwa teori nyeri masih merupakan sebuah "puzzle" yang sebagian komponennya sudah banyak ditemukan namun masih banyak juga bagian yang belum dapat diidentifikasikan dengan baik (Parjoto , 2008). Bagi praktisi klinis, nyeri adalah suatu masalah yang  membingungkan. Tidak ada pemeriksaan untuk mengukur atau memastikan nyeri; para praktisi klinis hampir semata mengandalkan penjelasan pasien tentang nyeri dan keparahannya. Nyeri merupakan alasan tersering yang diberikan oleh pasien apabila ditanya mengapa mencari pengobatan. Dampak nyeri terhadap perasaan  pasien sudah demikian luas diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai  "tanda vital kelima", dan mengelompokkanya bersama tanda klasik suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah.
            Pada sebagian besar pasien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi mencederai (berbahaya). Nyeri sebenarnya memiliki fungsi protektif, memicu respon terhadap stress berupa penarikan, melarikan diri, atau imobilisasi bagian tubuh (misalnya, menarik tangan bila terkena benda panas). Namun, bila fungsi protektif ini sudah selesai, nyeri yang berlanjut dapat memperlemah pasien, karena sering disertai oleh suatu respons stress berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan kecepatan pernapasan. Nyeri akut mungkin dapat diperkirakan dan rekuren apabila terjadi cedera jaringan yang berulang atau progresif. Sedangkan nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang timbul terus-menerus atau intermitten selama 3 bulan atau lebih (Ginsberg, 2008), sedangkan menurut Hartwig dan Wilson (2006), nyeri kronik merupakan nyeri jangka panjang tanpa bukti cedera jaringan atau tanda stimulasi persisten reseptor nyeri (nociceptor). Pada bentuk kronik, nyeri tidak memiliki fungsi protektif atau fungsi biologik yang bermanfaat lainnya. Selain itu, pola nyeri semacam ini memiliki keterkaitan erat dengan keadaan-keadaan psikologik, termasuk rasa cemas, depresi, irritabilitas atau rasa marah, malaise, sulit tidur, dan perasaan tidak berguna. Respon stress yang berkepanjangan meningkatkan kerusakan jaringan tubuh, mengganggu system imun, dan meningkatkan laju metabolism, pembekuan darah, dan retensi air, sehingga malah menghambat bukan mempercepat penyembuhan. Semakin lama reaksi dan respons dibiarkan berlangsung tanpa diatasi, semakin besar kemungkinan terjadinya "siklus lingkaran setan" nyeri sehingga siklus makin sulit diatasi (Hartwig, and Wilson, 2006). Nyeri yang dominan pada praktek neurologis; (1) Nosigenik, sebagai akibat aktivasi reseptor (nosiseptor) yang sensitive terhadap rangsang yang merusak jaringan, dan (2) Neurogenik, sebagai akibat disfungsi pada system saraf, tanpa ada aktivasi nosiseptor (Ginsberg, 2008).
            Walaupun merupakan pengalaman subyektif dengan komponen sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, nyeri dapat memperlihatkan beberapa bukti obyektif. Mengamati ekspresi wajah pasien, mendengar tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda vital ( misalnya tekanan darah, kecepatan denyut nadi ) dapat memberikan petunjuk mengenai derajat nyeri yang dialami pasien. Tetapi pengamatan-pengamatan diatas sangat tidak dapat diandalkan sehingga beresiko mendapat terapi nyeri yang tidak adekuat (Hartwig, and Wilson, 2006).
            Proses fisiologik nyeri, antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif nyeri  terdapat  empat proses yaitu ;  transduksi,  transmisi,  modulasi dan persepsi (Kuntono, 2007). Transduksi nyeri adalah proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor nyeri. Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran inpuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer sampai ke terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktivitas di reseptor nyeri afferent primer (nosiseptor). Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri yang bagaimanpun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri oleh saraf (Wilson, and Hartwig, 2006 ).
            Persepsi dari nyeri melibatkan sensasi yang jauh lebih banyak. Komponen afektif dan evaluatif dari nyeri sering sama pentingnya dengan produksi dan transmisi dari tanda nyeri. Aspek emosional ini merupakan yang paling utama pada pasien dengan nyeri kronik. Sistem limbik, dimana emosi diproses disini, akan memodulasi sejumlah pengalaman nyeri pada saat mendapat stimulus noxius (Taslim, 2008). Nyeri dapat dipandang sebagai suatu sinyal adanya kelainan dalam tubuh, sampai sinyal ini mencapai otak maka sinyal ini akan kita rasakan sebagai nyeri. Respon emosional pada rasa nyeri meliputi girus cingulated anterior dan korteks prefrontal ventral kanan. Pusat-pusat ini selalu diaktivasi oleh Serotonin dan norepinefrin yang terlibat dalam modulasi stimulus dari rangsang nyeri.
            Pasien yang memusatkan perhatian pada nyeri, membuat sensasi nyeri tersebut menjadi lebih berat. Sebaliknya pada pasien-pasien yang tidak memeperdulikan nyerinya, mereka dapat mengurangi rasa nyeri yang dialaminya secara bermakna. Kecemasan, ketakutan, dan kehilangan suatu perasaan untuk mengendalikan nyeri berperan dalam penderitaan yang dialami pasien. Pasien-pasien yang memiliki rendahnya tingkatan daya ingat terhadap rasa nyeri yang telah dialaminya akan merasakan nyeri yang lebih buruk jika dibandingkan saat pertama kali melaporkannya., dimana cenderung menjadi lebih buruk untuk bebearapa waktu kemudian. Hampir semua pasien melaporkan nyerinya berkurang setelah diterapi, tetapi saat pengukuran menggunakan skala nyeri hasilnya tidak memberikan nilai yang signifikan, dan kadangkala derajat nyeri menjadi lebih buruk.
Pasien harus diberikan pengertian bahwa dirinya memiliki peran yang penting dalam mengelola nyerinya sehingga mampu untuk meminimalkan nyeri selama hidupnya.
Nyeri dapat diakibatkan oleh keadaan reaksi dari rasa takut yang menetap bahkan setelah nyeri ini hilang, reaksi fobia terhadap aktivitas nyeri dan tidak nyeri, dan gangguan stress setelah trauma  (Taslim, 2008).



jenis-jenis nyeri ........(read more)

No comments:

Post a Comment

Popular Posts