Menurut
Internasional Association for the Study of Pain (IASP), nyeri digambarkan
sebagai "suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi,
atau dijelaskan berdasarkan kerusakan tersebut" ( Hartwig, and Wilson,
2006). Definisi ini menghindari pengkorelasian nyeri dengan suatu rangsangan
(stimulus); definisi ini juga menekankan bahwa nyeri bersifat subyektif dan
merupakan suatu sensasi sekaligus emosi. (Marjono, dan Sidharta, 2000),
mengolongkan nyeri sebagai gangguan sensorik positif, dimana
perangsangan yang menghasilkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi saraf pengantar impuls nyeri (serabut nyeri). Jaringan itu dinamakan secara singkat sebagai jaringan peka nyeri. Jaringan atau bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bila dirangsang. Nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan yang menyadarkan seseorang untuk mengambil /membuat tanggap rangsang yang memadai guna mencegah kerusakan lebih lanjut, (Parjoto, 2006).
perangsangan yang menghasilkan nyeri bersifat destruktif terhadap jaringan yang dilengkapi saraf pengantar impuls nyeri (serabut nyeri). Jaringan itu dinamakan secara singkat sebagai jaringan peka nyeri. Jaringan atau bangunan yang tidak dilengkapi dengan serabut nyeri tidak menghasilkan nyeri bila dirangsang. Nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan yang menyadarkan seseorang untuk mengambil /membuat tanggap rangsang yang memadai guna mencegah kerusakan lebih lanjut, (Parjoto, 2006).
Nyeri
merupakan pengalaman yang sangat pribadi
dan bersifat subyektif, karena bentuk nyeri maupun intensitas atau kuatnya
nyeri yang dikatakan oleh penderita adalah sebagaimana yang dirasakan oleh
penderita yang bersangkutan (Maramis, 1996, dikutip oleh Parjoto, 2008).
Pendapat ini sejalan dengan pendapat (Nicholson, 2000, dikutip oleh Parjoto, 2008)
yang menyatakan bahwa nyeri merupakan suatu pengalaman yang bersiifat subyektif
dan psikologik. Karena nyeri banyak dimensinya sehingga pengukuran tunggal
tentang intensitas nyeri tidak akan menggambarkan secara adekuat perbedaan
antara nyeri tusukan, sakit gigi dan terbakar. Nyeri bisa terjadi bila ada
stimulus yang memenuhi syarat yang dimediasi atau difasilitasi oleh bahan kimiawi
tertentu seperti leukotrin, prostaglandin, interleukin dan tromboksan sehingga menimbulkan impuls nyeri atau impuls
nosiseptif di nosiseptor yang dikenal sebagai proses transduksi yang kemudian
ditransmisikan ke arah sentral melalui tanduk belakang medulla spinalis, batang
otak, mesensefalon , korteks serebri dan korteks asosiasinya untuk kemudian disadari baik mengenai sifat ,lokasi maupun berat ringannya (Kuntono, 2007, Widiastuti , 1996, Tan dan Horn
1998, dikutip oleh Parjoto, 2008).
Batasan dan pengertian nyeri yang
sangat beragam menunjukkan bahwa teori nyeri masih merupakan sebuah
"puzzle" yang sebagian komponennya sudah banyak ditemukan namun masih
banyak juga bagian yang belum dapat diidentifikasikan dengan baik (Parjoto ,
2008). Bagi praktisi klinis, nyeri adalah
suatu masalah yang membingungkan. Tidak
ada pemeriksaan untuk mengukur atau memastikan nyeri; para praktisi klinis
hampir semata mengandalkan penjelasan pasien tentang nyeri dan keparahannya. Nyeri merupakan alasan tersering yang diberikan oleh
pasien apabila ditanya mengapa mencari pengobatan. Dampak nyeri terhadap
perasaan pasien sudah demikian luas
diterima sehingga banyak institusi sekarang menyebut nyeri sebagai "tanda vital kelima", dan
mengelompokkanya bersama tanda klasik suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan
darah.
Pada sebagian besar pasien, sensasi
nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau rangsangan yang cukup kuat untuk
berpotensi mencederai (berbahaya). Nyeri sebenarnya memiliki fungsi protektif,
memicu respon terhadap stress berupa penarikan, melarikan diri, atau
imobilisasi bagian tubuh (misalnya, menarik tangan bila terkena benda panas).
Namun, bila fungsi protektif ini sudah selesai, nyeri yang berlanjut dapat
memperlemah pasien, karena sering disertai oleh suatu respons stress berupa
meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan kecepatan
pernapasan. Nyeri akut mungkin dapat diperkirakan dan rekuren apabila terjadi
cedera jaringan yang berulang atau progresif. Sedangkan nyeri kronik
didefinisikan sebagai nyeri yang timbul terus-menerus atau intermitten selama 3
bulan atau lebih (Ginsberg, 2008), sedangkan menurut Hartwig dan Wilson (2006),
nyeri kronik merupakan nyeri jangka panjang tanpa bukti cedera jaringan atau
tanda stimulasi persisten reseptor nyeri (nociceptor). Pada bentuk kronik,
nyeri tidak memiliki fungsi protektif atau fungsi biologik yang bermanfaat
lainnya. Selain itu, pola nyeri semacam ini memiliki keterkaitan erat dengan
keadaan-keadaan psikologik, termasuk rasa cemas, depresi, irritabilitas atau
rasa marah, malaise, sulit tidur, dan perasaan tidak berguna. Respon stress
yang berkepanjangan meningkatkan kerusakan jaringan tubuh, mengganggu system imun,
dan meningkatkan laju metabolism, pembekuan darah, dan retensi air, sehingga
malah menghambat bukan mempercepat penyembuhan. Semakin lama reaksi dan respons
dibiarkan berlangsung tanpa diatasi, semakin besar kemungkinan terjadinya
"siklus lingkaran setan" nyeri sehingga siklus makin sulit diatasi
(Hartwig, and Wilson, 2006). Nyeri yang dominan pada praktek neurologis; (1)
Nosigenik, sebagai akibat aktivasi reseptor (nosiseptor) yang sensitive
terhadap rangsang yang merusak jaringan, dan (2) Neurogenik, sebagai akibat
disfungsi pada system saraf, tanpa ada aktivasi nosiseptor (Ginsberg, 2008).
Walaupun merupakan pengalaman
subyektif dengan komponen sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan, nyeri
dapat memperlihatkan beberapa bukti obyektif. Mengamati ekspresi wajah pasien,
mendengar tangisan atau erangan, dan mengamati tanda-tanda vital ( misalnya
tekanan darah, kecepatan denyut nadi ) dapat memberikan petunjuk mengenai
derajat nyeri yang dialami pasien. Tetapi pengamatan-pengamatan diatas sangat tidak
dapat diandalkan sehingga beresiko mendapat terapi nyeri yang tidak adekuat
(Hartwig, and Wilson, 2006).
Proses fisiologik nyeri, antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subyektif nyeri terdapat
empat proses yaitu ;
transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi (Kuntono, 2007). Transduksi nyeri adalah proses
rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Transmisi nyeri melibatkan
proses penyaluran inpuls nyeri dari tempat transduksi melewati saraf perifer
sampai ke terminal di medulla spinalis dan jaringan neuron-neuron pemancar yang
naik dari medulla spinalis ke otak. Modulasi
nyeri melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desendens dari
otak yang dapat memengaruhi transmisi nyeri setinggi medulla spinalis. Modulasi
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan
aktivitas di reseptor nyeri afferent primer (nosiseptor). Akhirnya, persepsi nyeri adalah pengalaman
subyektif nyeri yang bagaimanpun juga dihasilkan oleh aktivitas transmisi nyeri
oleh saraf (Wilson, and Hartwig, 2006 ).
Persepsi
dari nyeri melibatkan sensasi yang jauh lebih banyak. Komponen afektif dan
evaluatif dari nyeri sering sama pentingnya dengan produksi dan transmisi dari
tanda nyeri. Aspek emosional ini merupakan yang paling utama pada pasien dengan
nyeri kronik. Sistem limbik, dimana emosi diproses disini, akan memodulasi
sejumlah pengalaman nyeri pada saat mendapat stimulus noxius (Taslim, 2008).
Nyeri dapat dipandang sebagai suatu sinyal adanya kelainan dalam tubuh, sampai
sinyal ini mencapai otak maka sinyal ini akan kita rasakan sebagai nyeri. Respon emosional pada rasa nyeri
meliputi girus cingulated anterior dan korteks prefrontal ventral kanan.
Pusat-pusat ini selalu diaktivasi oleh Serotonin dan norepinefrin yang terlibat
dalam modulasi stimulus dari rangsang nyeri.
Pasien yang memusatkan perhatian pada nyeri, membuat
sensasi nyeri tersebut menjadi lebih berat. Sebaliknya pada pasien-pasien yang
tidak memeperdulikan nyerinya, mereka dapat mengurangi rasa nyeri yang
dialaminya secara bermakna. Kecemasan, ketakutan, dan kehilangan suatu perasaan
untuk mengendalikan nyeri berperan dalam penderitaan yang dialami pasien.
Pasien-pasien yang memiliki rendahnya tingkatan daya ingat terhadap rasa nyeri
yang telah dialaminya akan merasakan nyeri yang lebih buruk jika dibandingkan
saat pertama kali melaporkannya., dimana cenderung menjadi lebih buruk untuk
bebearapa waktu kemudian. Hampir semua pasien melaporkan nyerinya berkurang
setelah diterapi, tetapi saat pengukuran menggunakan skala nyeri hasilnya tidak
memberikan nilai yang signifikan, dan kadangkala derajat nyeri menjadi lebih
buruk.
Pasien harus diberikan pengertian bahwa dirinya memiliki peran yang penting dalam mengelola nyerinya sehingga mampu untuk meminimalkan nyeri selama hidupnya.
Nyeri dapat diakibatkan oleh keadaan reaksi dari rasa takut yang menetap bahkan setelah nyeri ini hilang, reaksi fobia terhadap aktivitas nyeri dan tidak nyeri, dan gangguan stress setelah trauma (Taslim, 2008).
Pasien harus diberikan pengertian bahwa dirinya memiliki peran yang penting dalam mengelola nyerinya sehingga mampu untuk meminimalkan nyeri selama hidupnya.
Nyeri dapat diakibatkan oleh keadaan reaksi dari rasa takut yang menetap bahkan setelah nyeri ini hilang, reaksi fobia terhadap aktivitas nyeri dan tidak nyeri, dan gangguan stress setelah trauma (Taslim, 2008).
jenis-jenis nyeri ........(read more)
No comments:
Post a Comment